Mohon tunggu...
Diana dip
Diana dip Mohon Tunggu... Diplomat - Sampoerna University

Hello, hope you like what i published.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Melawan Kegelapan Hidup

20 Maret 2017   07:23 Diperbarui: 20 Maret 2017   08:46 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen adalah karya sastra yang dibuat oleh seorang pengarang dalam bentuk prosa naratif yang bersifat fiksi atau nonfiksi. 

Berikut ini adalah contoh cerpen

Melawan Kegelapan Hidup

“Ssssst duaar!” suara petir menyambar tiang listrik di dekat rumahku membuat kota kecil ini gelap gulita. Hujan yang sangat deras disertai suara suara guntur yang menggelegar. Badai kali ini lebih parah daripada badai yang pernah datang sebelumnya. Aku duduk termenung di atas loteng yang merupakan kamar tidurku. Kegelapan kota kecil yang aku lihat dapat kurasakan seperti simbol kegelapan dalam hidupku. Entah kenapa keluargaku tidak pernah menganggapku ada, kecuali ayah dan nenek yang selalu menyayangiku. Bahkan ibu sangat benci kepadaku. Setiap aku muncul di depannya, beliau selalu tampak ingin membunuhku. Benda – benda yang ada di dekatnya beliau lemparkan kepadaku supaya aku pergi dari hadapannya.

Setiap saat aku bertanya – tanya dalam hati, “Aku Emma, anakmu ibu. Aku lahir dari rahimmu sendiri. Mengapa engkau tidak pernah memberikan kasih sayangmu seperti rasa sayang yang kau limpahkan kepada adik – adikku?” aku yakin pasti ada suatu alasan tersendiri. Pernah pada suatu hari aku melihat ibu membawakan banyak boneka cantik dan makanan hanya untuk adik – adikku. Beliau melarangku menyentuh boneka tersebut. Ibu sangat tega kepadaku hingga menyuruhku tidur di atas loteng. Aku terlahir sebagai anak indigo. Hantu dan tikus yang ada di kamar merupakan teman - temanku. Mereka selalu ada untuk menghiburku.

Hingga suatu hari ketika aku berbaring di ranjang sambil membaca novel pemberian ayahku, tiba - tiba seekor burung merpati putih hinggap di candela kamarku. Burung itu membawa gulungan kertas kecil di kakinya. Secepat mungkin aku menghampiri dan mengambil gulungan tersebut. Ternyata itu adalah sepucuk surat dari ayahku. Selama beberapa detik aku melamun. Pikiranku bercampur aduk antara kabar baik atau kabar buruk yang akan aku dapatkan. “Terimakasih, burung cantik,” si merpati putih mengangguk kepadaku dan ia kembali terbang ke langit yang mendung. Aku terus memandang sampai ia menghilang diantara awan - awan hitam.

Setelah membaca surat dari ayah, seketika aku tersenyum. Beliau memberitahuku bahwa aku diterima di Asrama Lotus. Ayah memutuskan untuk menyekolahkanku di sekolah berasrama karena hari semakin hari tampaknya ibu semakin membenciku. Aku memahami maksud baik ayah, jadi aku menurutinya. Beliau berkata, “Ayah akan mengantarmu berangkat ke sekolah barumu minggu depan nanti. Lebih baik kamu menyiapkan semua kebutuhan mulai hari ini dan mintalah kepada ayah jika ada sesuatu yang kurang.” Aku pun melaksanakannya.  Hantu – hantu yang ada di kamar membantuku menyiapkan kebutuhanku yang akan aku bawa. Kami melakukannya sambil bermain main. Tak lama kemudian ada suara langkah kaki yang mendekat ke arah kamarku.

“Tok tok tok!” aku langsung terdiam dan para hantu bersembunyi.
 “Emma, apa yang kamu lakukan? Jangan terlalu berisik atau ibumu akan terbangun dan memarahimu lagi!” nenek masuk ke dalam kamarku dan berkata secara lembut. Beliau duduk di sampingku. Aku pun memberi tahu beliau jika aku akan meninggalkan rumah minggu depan. Ayah tidak memberi tahu nenek tentang sekolah baruku. Nenek terkejut. Tapi, aku bisa meyakinkan nenek dan berjanji kelak aku akan menjadi orang sukses. Beliau menyemangatiku. Sambil membelai rambutku, nenek meyakinkan aku akan berhasil. Aku melihat kearah temanku yang sedang bersembunyi, mereka tersenyum terharu kepadaku. Nenek sudah menyiapkan makan siang untukku. Beliau mengajakku makan siang sambil melangkah keluar kamar.

Hari berjalan begitu cepat. Besok adalah hari keberangkatanku ke Asrama Lotus. Aku akan merindukan hari – hari bersama ayah dan nenek. Mereka adalah satu – satunya orang yang selalu memanjakanku. Ayah sering kali mengajakku makan di restoran. Sedangkan nenek merajutkan baju hangat untukku. Walaupun ibu selalu bersifat kasar kepadaku, sekalipun tidak pernah ada rasa dendam kepada beliau. Aku selalu berfikiran positif dan menganggap itu adalah bentuk kasih sayang yang ibu berikan untukku. Aku membayangkan bagaimana kehidupan baruku di asrama nanti. Mitos mengenai Asrama Lotus, tempat tersebut adalah bekas bangunan kantor Belanda. Pada zaman dahulu, banyak korban yang berjatuhan di tempat itu setelah terjadinya demo besar – besaran.

“Kriing.. Kriing.. Kriing!” alarmku berbunyi sangat keras. Aku terbangun dari tidurku dan segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah baru. Aku mendengar suara ayah menyiapkan mobil untuk transportasi kami menuju ke sana. Setelah semuanya siap, aku turun ke bawah menuju tempat makan. Kami sarapan bersama. Tidak ada ibu di ruang makan. Ayah bilang bahwa ibu sudah sarapan dahulu. Itu adalah hal yang sudah biasa untukku. Selesai sarapan aku dan ayah berangkat naik mobil. Nenek kembali menyemangatiku sebelum aku berangkat. Beliau melambaikan tangan ke arah mobil kami. Selama perjalanan, aku banyak mengobrol dengan ayah. Kami bercanda sambil memutar musik dengan volume yang keras. Tak lama kemudian aku pun tertidur.

“Emma? Bangunlah, sayang. Kita sudah sampai!” secara perlahan aku membuka mataku. Di depan mataku tampak bangunan yang begitu megah dan mewah. Tetapi sedikit menyeramkan terutama pada bagian pencahayaan maupun pewarnaan bangunannya. Kami masuk ke bagian lobi. Satpam membantu ayah membawakan koperku. Di sana aku disambut dengan baik. Sepertinya aku akan merasa nyaman tinggal di asrama ini. Setelah konfirmasi data yang diperlukan seperti ijazah, akta kelahiran, raport, dan lain – lain, ayah berpamitan kepada guru untuk pulang. Beliau menyampaikan beberapa pesan untukku.

“Jika kamu ada masalah, ceritalah kepada ayah melalui telepon atau SMS. Ayah akan selalu ada dimana kamu membutuhkan ayah. Jangan mudah menyerah menghadapi sesuatu dan yakinlah kamu pasti bisa!” aku mengangguk. Mataku sudah tidak kuat lagi membendung air mata. Aku menangis di depan ayah. Ayah memelukku dengan erat. Aku melihat beliau berjalan kembali ke mobil di tempat parkir. Ibu asrama di Lotus sangat ramah. Beliau menuntunku ke kamar yang berisikan tiga orang. Kamar yang aku tempati begitu luas dan bersih. Setelah tinggal beberapa hari di sekolah ini, aku merasa nyaman dengan sistem pembelajaran dan orang - orang yang ada di sekitar sini. Hidupku berubah bagaikan ada suatu sinar yang terang benderang masuk ke dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun