Cahaya rembulan menghiasi sunyinya malam. Tidak seperti biasanya, cuaca malam ini begitu cerah yang memasuki musim penghujan. Terdiam sendiri seakan menjauh dari kumpulan orang - orang, ya memang saat itu adalah masa - masa paling sulit dalam hidupku. Pikiran tidak menentu, kacau, hilang semangat dalam hidup bahkan hampir mendekati stres.Â
Melihat kedua orang tuaku yang tampak tidak seperti biasanya, khususnya Ibuku. Dia tampak begitu stres. Aku sendiri pun bingung harus berbuat apa.Â
Malam serasa lebih lama berlalu. Batin dan pikiran serasa tidak sejalan. Ingin rasanya diri ini berteriak, mengeluarkan semua kegundahan di jiwa. Aku memejamkan mataku sejenak dan mulai menerawang jauh.Â
"Kak, Bangun! Sudah siang!" Terdengar suara samar di telinga.Â
"Hmmm.." gumamku sambil membalikan badan dan sedikit membuka mata. Kulihat adik bungsuku membangunkanku.Â
"Ayo bangun kak! Katanya mau ke lapang futsal? Tuh di sana udah banyak orang." Rengek adiku sambil mengoyang - goyangkan badanku.Â
"Iya - iya bentar." Aku mulai terbangun sambil menggaruk rambut.Â
"Bentar ya! Kakak cuci muka dulu."Â
Mungkin adiku membangunkanku dari tadi, dia nampak agak kesal. Adiku berumur lima tahun. Dia baru masuk Taman Kanak - Kanak lima bulan lalu. Tingkahnya begitu polos, lucu, dan dia anak yang cerdas untuk seorang anak yang berusia lima tahun.Â
Setiap hari minggu, sudah menjadi kebiasaanku mengajak adiku bermain futsal. Meskipun dia hanya menontonku saja, tapi dia begitu bahagia. Susah rasanya mau lepas darinya, kemanapun aku pergi, pasti dia merengek minta di ajak.Â
Kami 3 bersaudara, semua laki - laki. Aku sendiri anak sulung. Adik keduaku baru sekolah kelas satu SMP. Tidak sama dengan si bungsu, adiku yang kedua ini tidak terlalu dekat denganku. Aku begitu menyayangi keduanya. Terutama si bungu.Â
Tiba - tiba terdengar teriakan dari pinggir jalan. Seketika itu juga semua berhamburan melihat ke sumber teriakan. Tidak terkecuali semua yang ada di tempat futsal. Aku langsung mencari adiku, tapi dia tidak ada. Aku mencari kesana kemari tapi tidak ada. Aku panik, pikiranku kacau.Â
"Apa jangan - jangan suara ibu - ibu tadi yang berteriak itu ada kaitannya dengan adiku?" Pikiranku semakin panik. Akupun berlari menuju arah suara tadi.Â
Betapa terkejutnya saat aku melihat sepeda motor yang tergeletak nyaris hancur di pinggir jalan. Banyak sekali orang - orang yang berkerumun di sana.Â
"Cepat bawa ke puskesmas!" Teriak salah seorang lelaki setengah baya. Aku berlari ke kerumunan itu sambil berharap adiku bukan salah satu korban kecelakaan itu.Â
"Radi?" Teriaku sambil menggoyang - goyangkan badannya.Â
"Cepat bawa ke puskesmas!" Teriaku sambil panik.Â
Kemudian warga menggotongnya masuk ke dalam mobil pak RT.Â
"Kamu kenal dia Den?"
"Iya pak, dia temen sekelas saya waktu SMP." Jawabku pada salah seorang warga tetanggaku.Â
Aku sendiri agak lega. Bukan adiku ternyata yang ada di situ.Â
"Tapi kemana adiku?" Terus aku bertanya - tanya kebingungan. Aku mencari kesana - kesini belum juga ada. Menanyakan ke tetangga juga tidak ada yang mengetahui. Terus kucari dia namun belum juga ketemu. Aku pergi kerumah pun juga tidak ada.Â
"Kemana dia?"Â
"Gilaaang?" Teriaku yang semakin bingung. Terus tanpa henti aku berteriak.Â
Tiba - tiba saja terdengar suara ibuku.Â
"Den, Denii!" Teriak ibuku sambil mengoyangkan badanku.Â
"Kenapa kamu? Dari tadi teriak teriak manggil almarhum adik kamu." Ibuku membangunkanku.Â
Aku terdiam, duduk di pinggir ranjang sambil menundukan kepala. Air mata pun tanpa di sadari menetes dari sudut mata. Ibuku memelukku dengan erat. Dia mengusap - ngusap rambutku sambil berusaha menenangkanku.Â
"Istigfar Den, ikhlaskan dia!"Â
"Dia sudah tenang dan bahagia di sisiNya." Kata ibuku sambil menitikan air matanya.Â
Akupun keluar kamar dan mengambil air minum. Sambil menghela nafas panjang aku mencoba menenangkan diriku.Â
Terlihat jam di handphone menunjukan jam enam pagi tanggal empat Desember. Tepat sepuluh hari lagi, setahun sudah Gilang adik bungsuku meninggalkanku kembali di sisiNya.Â
Adik kesayanganku, yang paling aku sayangi dan aku cintai. Tidak terasa hampir setahun yang lalu dia menghelakan nafas terakhirnya di Rumah Sakit. Pembengkakan pada jantungnya yang menyebabkan dia meninggal. Dia begitu ceria, anak yang rajin sekolah, dan begitu pintar yang kini telah di ambil kembali oleh sang Maha Kuasa.Â
Aku di sini selalu mendo'akanmu. Aku di sini akan meneruskan mimipi - mimpi besar keluarga kita. Hanya do'a yang bisa aku berikan. Selamat jalan saudaraku. Semoga Tuhan mempertemukan kita kembali di alam sana dan menyatukan kembali keluarga kita. Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H