Pagi itu semua orang di sekolah HighScope TB Simatupang sibuk sekali. Pantas adanya, karena 14 Juli 2013 itulah hari pertama semua guru masuk kembali setelah 3 minggu libur akhir tahun ajaran. Yang membuat semua orang sibuk – tetapi ceria – adalah konferensi tahunan guru HighScope (HighScope Teachers’ annual conference). Konferensi ini disambut antusias para guru, apalagi panitia telah menyiapkan menu spesial pada sesi pukul 9.00 – 11.00 WIB. Sesi mendebarkan itu ternyata milik Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina sekaligus pemerhati dan aktivis pendidikan Indonesia. Mumpung saya salah satu penggemar beratnya, saya tak mungkin melewati sesi ini. Berikut adalah beberapa poin yang saya pahami dari sesi tersebut.
Tentang Pendidikan di Indonesia
Sebagai pembukaan, Pak Anies mengajak kami untuk melihat pertumbuhan Indonesia dan sampai di mana posisi kita sekarang di kancah dunia. Beliau menyuguhkan video dari BBC London yang menyajikan pertumbuhan negara-negara di dunia selama 200 tahun hingga tahun 2009 (video dapat dilihat di link berikut : youtube=http://www.youtube.com/watch?v=jbkSRLYSojo). Hampir semua negara berada di posisi dengan pendapatan per kapita rendah dengan usia harapan hidup yang hanya hingga usia 25 tahunan pada tahun 1809. Hingga tahun 1948, negara-negara penjajah memimpin di depan, meninggalkan negara-negara yang dijajah terhenti pertumbuhannya di belakang mereka. Tahun 2009, dari data terlihat negara-negara Eropa seperti Luxembourg dan Swedia memimpin dengan pendapatan per kapita tertinggi dengan usia harapan hidup mencapai 75 tahun, yang artinya mereka hidup sejahtera dan sehat. Lalu di mana posisi Indonesia? “Tenang, pencapaian kita masih terbilang bagus karena kita di posisi menengah dengan kondisi terjajah di masa lampau. Hal ini tak lepas dari peran pendidikan,” ujar Pak Anies.
(Anies Baswedan Saat Berbicara di Sekolah HighScope TB Simatupang, 14 Juli 2013)
Selanjutnya Pak Anies menuturkan kebesaran Indonesia dalam angka. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang begitu banyak dan banyaknya anak muda (usia produktif) dibandingkan usia purna. Tentu kita layak disebut memiliki ‘bonus’ secara demografi (demographic bonus). Namun, apakah kita telah merasakan keuntungan bonus tersebut? Saya rasa tidak. Beliau membuktikannya dengan menyajikan data tahun 2010 yang menyebutkan bahwa dari 5,3 juta anak yang masuk SD, ternyata yang lulus SMA tinggal 2,2 juta. Defisit 3,1 juta itu merepresentasikan betapa banyak anak-anak yang ‘hilang’ di perjalanan pendidikannya alias putus sekolah. Menyedihkan!
Pak Anies percaya, pendidikan adalah kunci sukses sejahteranya suatu negara dan kita sebagai anak bangsa selayaknya menggarap pendidikan secara serius. Beliau berpesan, Sekolah HighScope Indonesia yang telah berada di lini terdepan dalam bidang pendidikan harus terus bekerja keras mencetak generasi bangsa yang cerdas. Harapannya tentu generasi tersebut adalah anak-anak yang berkualitas internasional dengan grass root Indonesia. Maksudnya, anak-anak tersebut harus dapat bersaing secara global tapi tetap mencintai tanah air dan dapat memperbaiki negeri, bahkan kalau bisa mereka menjadi pegawai negeri papan atas yang memperbaiki sistem di negeri ini.
Tentang Guru dan Indonesia Mengajar
Bagi Pak Anies, guru adalah teladan yang meninggalkan ‘sidik jari’nya dalam kesuksesan seseorang. Tentu, guru memiliki peranan paling penting dalam sistem pendidikan, sehingga guru haruslah berkualitas dan merupakan manusia pembelajar. Begitu berjasanya guru hingga Pak Anies mengusulkan terjaminnya anak guru untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang layak, dilihat dari kenyataan bahwa masih ada guru yang tak dapat menyekolahkan anaknya hingga sarjana akibat hambatan biaya. Inilah yang ia sebut prinsip keadilan, bahwa seorang guru yang telah mendidik anak-anak kita seharusnya kita jamin juga agar anaknya dapat mengenyam pendidikan hingga bangku perkuliahan, bukan hanya menjamin kesejahteraannya.
Berikutnya beliau menceritakan tentang pergerakannya yang menyebar guru muda berkualitas ke pelosok daerah melalui program Indonesia Mengajar. Awalnya ia ragu, apa ada mahasiswa atau fresh graduate yang mau dilempar ke pelosok untuk jadi relawan sebagai guru SD? Apalagi mahasiswa dari ITB, dari survei awal pun hasilnya mereka lebih memilih bekerja di sektor swasta yang mengiming-imingi kompensasi tinggi. Maka ia coba dengan strategi persuasi ‘Anda mau pengalaman 1 tahun yang tak terlupakan?’ untuk menarik para lulusan terbaik negeri ini agar mau berpartisipasi menjadi pengajar muda (sebutan untuk relawan guru SD dalam program Indonesia Mengajar – red). Hasilnya mencengangkan, lebih dari 1.300 pelamar melayangkan aplikasi menyatakan siap mengabdi demi pendidikan Indonesia. “Heran, biasanya ‘kan orang berlomba-lomba untuk masuk perusahaan bagus dengan gaji tinggi. Tapi anak-anak muda ini malah berusaha meyakinkan kami agar memilih mereka untuk ditempatkan di daerah paling terpencil, tak ada listrik dan air bersih, tak digaji pula. Membaca esai aplikasi mereka adalah sesuatu yang luar biasa,” ungkap Pak Anies berbinar-binar. Terbukti, program ini pun sangat terasa manfaatnya bagi masyarakat daerah target. Selain pencarian bakat – yang menemukan banyak bakat dan kepandaian anak-anak pelosok – program ini juga membangun kemandirian pendidikan dan keterbukaan masyarakat setempat terhadap dunia luar. “Mengirim mereka (pengajar muda – red) saat keberangkatan di bandara sih mudah. Pulangnya yang susah! Mereka begitu mencintai dan dicintai para penduduk pelosok. Betapa satu tahun yang mereka jalani begitu membekas di kedua pihak, baik masyarakat maupun pengajar muda,” tutur Pak Anies.
Resep Rahasia Mendidik Anak ala Orang Tua Anies Baswedan
Di sesi tanya-jawab, seorang partisipan menanyakan Pak Anies mengenai suatu hal yang sukses membuat semua orang memasang telinga lebar-lebar. Pasalnya, pertanyaannya adalah ‘bagaimana cara orang tua Pak Anies mendidiknya hingga menjadi orang besar seperti sekarang?’
Pak Anies tersenyum dan mengatakan seharusnya ia menelepon ibunya supaya ibu beliau saja lah yang menjawab pertanyaan tersebut. Berikut beberapa prinsip fundamental dalam gaya pendidikan orang tua Anies Baswedan:
·Hal yang berkaitan dengan etika tak ada tawar-menawar. Orang tua Anies Baswedan menanamkan pada anak-anaknya bahwa etika dan moral yang baik wajib mereka miliki.
·Orang tua Anies Baswedan mendorong anaknya untuk melakukan hal yang positif secara tak langsung atau tak memaksakan agar anaknya menyukai hal tertentu. Misalnya, dahulu Pak Anies diperbolehkan mengendarai sepeda asalkan tujuannya ke perpustakaan kabupaten. Alhasil, mau tak mau ia harus meminjam buku dan lama-kelamaan ia pun suka membaca buku. Strategi ini menurut Pak Anies sangat jitu, karena motivasi awalnya yang penting ia bisa jalan-jalan naik sepeda, malah ternyata ada niat terselubung Sang Ayah agar anaknya senang membaca buku. Menurut saya strategi ini unik, karena biasanya orang tua ‘memaksakan’ hobi anak, seperti meminta anak kursus piano agar senang bermusik.
·Anies Baswedan ternyata diperbolehkan membolos sekolah atau kuliah lho oleh orang tuanya, dengan catatan dia harus bisa bertanggung jawab mengejar pelajaran. Bahkan orang tuanya mengizinkan ia mengikuti organisasi pelajar/mahasiswa yang tak kelihatannya tak penting sekali pun! Pak Anies bernostalgia, dulu saat ia kelas 1 SMP, ia bergabung dalam OSIS sebagai staf pengabdian masyarakat. Kedengarannya keren, tapi ternyata kerjanya adalah mengumpulkan sumbangan dari semua kelas jika ada warga yang meninggal dunia. Alhasil, Pak Anies beserta kedua orang temannya harus masuk ke semua kelas dari kelas 1 sampai 3 dan mengumumkan berita duka serta maksud tujuan mereka, yakni meminta sumbangan. Pengalaman inilah yang justru memupuk Anies Baswedan untuk berani bicara di depan umum, dengan ditempa olok-olok teman atau senior bahkan berhadapan dengan guru-guru galak untuk meminta izin mengambil waktu ajarnya.
Begitulah isi sesi Anies Baswedan yang dikemas manis, mengantarkan motivasi bagi kami para pendidik. Kami memiliki tekad yang sama dengan Pak Anies, berkontribusi untuk memajukan pendidikan di Indonesia, karena mendidik adalah tugas setiap orang terdidik. Hidup pendidikan Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H