Mohon tunggu...
Diana Arnita
Diana Arnita Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Akuntansi

Syukuri Jalani Nikmati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Seperti yang Ibu Minta

13 Mei 2019   18:37 Diperbarui: 13 Mei 2019   19:18 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin berembus kencang menghempas tubuhku yang mulai tak bertenaga lagi, rasanya aku akan terjatuh, namun aku mencoba tetap tegak berdiri. Rasa sakit di punggungku masih begitu terasa. Tapi tak seberapa dibanding rasa sakit di hatiku yang sangat sangat dalam. "pergilah sana, jangan di rumah, ibu pusing melihat kalian berantem, pergi sana yang jauh!". 

Kata-kata itu masih terdengar jelas di telingaku. Aku ini siapa, mengapa aku dibentak, dipukul, dan sekarang aku diusir. Kata orang berdasi yang sering aku lihat di tv itu. Seorang anak harus disayang, tidak boleh dipukul. Aahh itu bohong. Aku tak tahu akan kemana. Namun pikiranku menginginkan aku pergi ke rumah kakek, di sana aku tak akan dipukul, dibentak, ataupun diusir.
"Kakek?" aku mencoba memanggil kakekku. Tak berselang lama kakekku muncul dengan membawa segelas susu, enak sepertinya.

"Lha kamu kenapa lagi Bil, kamu dipukul lagi?" nampak kakek begitu khawatir dan memapahku duduk di kursi, sembari memberikan susu itu kepadaku.
"Iya kek." Jawabku sambil menahan tangis.
Kakek memelukku. Perasaan nyaman yang membuatku semakin kencang menangis.
"Yasudah, malam ini kamu nginep di sini saja ya, nanti malam kakek buatin susu coklat kesukaan kamu." Kakek nampak berusaha menenangkan aku.

Rasa sakit di punggungku mulai berkurang setelah kakek mengompres dengan handuk hangat. Aku mulai terlelap.
Namaku Billa. Nama lengkap Billa Santika. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Sebelum adikku lahir di dunia ini, kedua orangtuaku begitu menyayangi aku. Mereka menuruti semua keinginanku. Mereka begitu memanjakan aku. 

Namun sejak adik pertamaku hadir, mereka tidak lagi memanjakan aku, boro-boro memanjakan, aku diminta mengalah terus. Katanya karena aku ini kakak. Jadi disuruh mengalah demi adik. Aaahhh bilang saja mereka gak sayang aku lagi. Sejak saat itu juga aku sering melihat bapak dan ibu bertengkar, entah apa masalahnya aku tak begitu paham. Kondisi seperti itu terus berlanjut sampai adikku yang kedua lahir. Namun 3 bulan setelah adik keduaku lahir, kami mendapatkan musibah, entah kenapa perut adikku membesar. 

Dan setelah dilakukan pemeriksaan ternyata adikku mengalami radang usus, entah sakit apa itu, yang aku tau hanya sakit pilek dan sakit akibat pukulan ibu. Setalah berbagai macam dokter lakukan, adikku sembuh, dan ibuku bilang kalau apapun yang diminta adikku itu, ibu akan menururinya. Aku iri. Dan sejak saat itu pula semua berubah, ibuku yang penuh kasih sayang berubah menjadi monster yang menakutkan.

"Bil, ayo bangun, mandi." Sayup sayup suara kakek membangunkan aku.
Aku membuka mata, menggeliat, mencoba duduk ditepi ranjang.
"Kek?"

"Iya, ada apa nak?"
"Malam ini aku nginap di sini ya kek,"
"Iya," kakek tersenyum sembari mengelus rambutku.

Tibalah malam, kulihat jam dinding menunjukkan pukul 20.00, tapi mengapa jam dinding itu terlihat mau jatuh. Aku langkahkan kakiku mendekati jam tersebut. Namun aku justru tersandung kaki meja dan terjatuh. Akupun tak mengingat lagi apa yang terjadi.

Rasa dingin menjalar disekujur tubuhku. Aku membuka mata. Tercium bau anyir seperti darah. Aku mencoba bangun. Dan aku terus mencoba untuk berdiri. Tepat didepan aku berdiri ada sebuah kaca. Nampak diriku yang begitu kusut dan.

"Kenapa hidungku berdarah?" aku mencoba meraba-raba hidungku.
Ya ini memang darah. Tak ada yang luka diluar. Itu artinya aku mimisan. Aku segera membersihkan darah disekitar lubang hidungku sebelum kakek mengetahuinya. Setelah bersih aku kembali untuk tidur. Sekuat mungkin aku berusaha memejamkan mata. Tapi tidak berhasil. Rasa sakit dikepalaku tidak tertahankan. Aku hanya menangis sesegukan tanpa berpikir akan merepotkan kakek.
Ayam berkokok tanda aku harus memulai sandiwara didepan kakek. Terdengar suara pintu terbuka.

"Billa?" kakek melangkah mendekatiku.
"Iya kek?"
"Ayo mandi terus ikut kakek ke rumah bude!"
"Iya kek," tanpa menoleh sedikitpun aku berlalu meninggalkan kakek menuju kamar mandi.

Segera aku membersihkan diri dan mempersiapkan diri untuk pergi ke rumah bude. Tanpa banyak bicara aku pun ikut ke rumah bude. Rasa sakit kepalaku membuat aku terdiam tanpa banyak kata. Setiap pertanyaan dari bude hanya aku jawab singkat-singkat saja. Setelah selesai pembicaraan antara kakek dan bude, kami berpamitan pulang.
Sorepun tiba, aku masih saja di rumah kakek. Nampak dari dalam rumah, ibu datang.

"Bil?" ibu melangkang ke dalam rumah, dan mendekatiku yang tengah duduk di ruang tamu.
"Billa masih pengen disini bu,"
"Ayo pulang nanti gak diajak bapak ke pasar malam lho,"
"Yasudah aku ikut pulang," dengan lesu aku mencoba melangkah pulang ke rumah, sampai lupa tidak berpamitan dengan kakek.

Hari-hari aku lalui dengan baik. Tanpa ada bentakan, amarah, pukulan, omelan atau apapun itu yang biasanya dilakukan ibu terhadapku. Aku senang.
Namun tidak hari ini, ibu mulai membentakku lagi hanya karena aku meminta uang jajan.

"Ibu itu lagi gak punya duit, gausah minta jajan terus!"
Aku hanya diam
"Setiap hari cuma bikin ibu pusing saja!"

Adikku yang kedua mulai menangis. Dan ibu semakin terlihat marah.
"Astaga dasar anak-anak gak bisa lihat ibunya senang, bisa diam tidak? Ibu pusing dengernya, kepala ibu rasanya mau copot,"
Aku mencoba menenangkan adik keduaku supaya tidak menangis lagi. Tapi bukannya menjadi tenang, justru semakin keras menangisnya. Dan ibu terlihat kesal sekali, lalu menghampiriku. Dan plakkk. Satu tamparan di pipiku.

"Kamu itu udah gede, harusnya bisa jagain adiknya, kasih contoh yang baik buat adiknya, bukan malah ngajarin jajan!" ibu terus memarahi aku.
"Kan aku cuma minta uang jajan,"
"Kalau dibilangin orangtua kok malah ngebantah terus,"
"Ya ibu, apa-apa yang diturutin adik terus, aku mana pernah disayang," 

aku menggerutu dan mencoba meninggalkan adikku yang sedari tadi aku pegang tangganya, namun karena reflek aku berdiri, aku melepaskan tangkan adikku dan adikku jatuh. Langsung saja satu dorongan tangan dari belakang mendorongku jatuh, kepalaku membentur lantai. Sakit dan keadaan mulai gelap. Pun aku tidak mengingat apapun lagi.

Setelah beberapa saat aku tidur, aku pun terbangun. Aku lihat ibuku menangis, bapakpun menangis, kakek nampak mondar-mandir gelisah. Aku mencoba berdiri dari ranjang rumah sakit ini. Aku berjalan ingin menhampiri kakek. 

Namun saat aku membalikkan badan ada pemandangan menarik. Dan di ranjang itu, siapa gadis itu, mengapa mirip sekali denganku. Tampak darah di pelipisnya, tampak bibirnya pucat, dan selang oksigen masih menancap di hidungnya. Tunggu! Ibu terus-menerus memanggil namaku lirih sembari mengelus rambut gadis itu. Saat itupun pintu kamar terbuka, ada suster dan dokter yang datang. Menghampiri ibuku.

"Ibu, segera mungkin kita harus mengurus jenazah anak ibu, kami minta maaf tidak bisa mnyelamatkan anak ibu," dokter tersebut berbicara kepada ibuku.
Jenazah anak ibu?. Itu ibuku, lalu aku ini anaknya. Berarti gadis yang tertidur di ranjang itu adalah aku. Jenazah? Dan itu artinya aku sudah meninggal?

Ibu aku sekarang sudah meninggal, aku sudah tidak membuat ibu pusing lagi. Aku sudah tidak merepotkan ibu lagi. Lantas mengapa ibu masih saja menangis? Bukankah beban ibu berkurang satu? Ibu tak perlu lagi memberiku uang jajan lagi. Sudahlah bu, jangan menangis terus, Billa sudah disisi Tuhan. Tuhan akan selalu menjaga Billa disini. 

Maafkan Billa selama ini sudah banyak merepotkan ibu. Billa mohon bu, jangan marahi adi-adik Billa, jangan pukul mereka seperti yang ibu lakukan kepada Billa dulu. Biarkan mereka tumbuh dewasa tanpa ada tekanan dari ibu. Karena kelak merekalah yang akan menjaga ibu dan bapak. Sekarang Billa sudah pergi bu, seperti yang selalu ibu minta bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun