Mohon tunggu...
Diana PutriArini
Diana PutriArini Mohon Tunggu... Psikolog - Diana Putri Arini

Penyuka filsafat hidup, berusaha mencari makna hidup agar dapat menjalani hidup penuh kebermaknaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Profesor di Atas Kertas

1 Agustus 2024   21:21 Diperbarui: 1 Agustus 2024   21:32 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

ada salah satu temanku yang menginspirasi dan beruntung mengenalnya. Temanku ini bernama Akbar, guru SD Negeri di kota kecil. Beberapa tahun lalu dia mendapatkan beasiswa Chevington di Inggris di University of Hull. Motto dari kampus itu 'Lampada Ferens' yang artinya membawa cahaya pembelajaran. Hull University termasuk universitas tertua di Inggris, bahkan lebih tua dari usia Indonesia, berdiri sejak tahun 1927, pada tahun 2022 mendapatkan predikat 20 kampus di Inggris yang memberikan dampak positif secara keseluruhan. 

Tentu aku bangga sekali pada temanku yang bisa melanjutkan di kampus terbaik. Aku cukup tahu perjuangannya belajar di kampus tersebut yang tidak mudah. Ketika ia lulus, aku pikir dia akan menantang diri mendapatkan posisi yang lebih baik. Minimal ia akan bekerja di Kementerian Pendidikan atau minimal menjadi dosen lah. 

kejutan dalam cerita ini. 

M. Akbar  Rafsanzani  tidak menjadi pegawai kementrian pendidikan atau menjadi dosen di universitas negeri.

dia tetap menjadi guru SD di SDN 17 Talang Ubi, jaraknya dari kota Palembang sebanyak 18 km atau bisa ditempuh sekitar 43 menit jika tidak macet. Ada penjelasan dari ahli tata ruang, jarak ideal tempat kerja ke rumah kurang dari 10 km karena jika melebihi akan menghabiskan energi waktu, tenaga dan biaya untuk perjalanan. Waktu itu aku berpikir Akbar sedang menyiayiakan masa muda dan karirnya di tempat yang tidak terkenal untuk membuatnya bersinar. Apa yang bisa didapat dari tempat tersebut?

Lagi-lagi aku dikejutkan. 

Beberapa bulan aku mendapatkan kabar sekolah tempat yang dikelolah oleh temanku mendapatkan sambutan positif.  Sekolahnya menjadi salah satu sekolah percontohan. Program sekolahnya berjalan bahkan baru-baru ini SDN 17 Talang Ubi mewakili Indonesia untuk menjadi kompetisi sekolah terbaik di wilayah Asia Tenggara. Fakta ini tentu mencengangkan bagiku yang menganggap sekolah swasta lebih baik secara fasilitas dan implementasi kurikulum daripada negeri. 

Baru-baru ini aku menjadi narasumber kegiatan Badan Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP) Sumsel. Saat itu aku menawarkan proposal kesejahteraan sekolah. Aku berkenalan dengan bu Diana Juwita (DJ) dari SDN 2 Gelumbang yang berhasil menerapkan program Gerakan 5 Sehat dan menjadi percontohan di wilayah sumatera selatan. Aku berani bertaruh bu DJ sama sekali tidak tahu kesejateraan sekolah yang memiliki komponen having, loving, being dan healthy. Dia hanya ingin menciptakan sekolah menyenangkan dan sehat. Ada pernyataan beliau yang mengunggahku:

" Walau kami dari sekolah daerah dan tertinggal namun kualitas kami tidak kalah dari sekolah di kota." 

Kalimat pernyataan yang berani seakan membuktikan kami bukan orang tertinggal. Aku terpana dengan kerjasama sekolah dengan puskesmas untuk program imunisasi dan kesehatan, industri perternakan untuk program pembagian telur mencegah stunting yang rutin terjadi, bagi hasil sayur dari wali murid untuk dibagikan kepada siswa. Siswa membawa bekal makanan sehat. Pihak UMKM yang bekerja di kantin diawasi penjualan makannya yang harus mengandung unsur makanan sehat, tanpa pengawet dan pemanis. 

Penjelasan program yang dibuat oleh bu DJ mengingatkanku Model Pentahelix untuk transformasi organisasi yang melibatkan peran   pemerintah, bisnis, akademisi, komunitas dan media. Aku yakin beliau tidak tahu konsep collaborative governance namun beliau sudah melakukannya. Hal yang menarik saya menyimak pernyataannya:

" Oh setiap program saya publikasikan ke media instagram kami. Saya tag terus pihak BPMP biar tahu program kami." 

Saya tertawa. Kuharap pejabat kementrian pendidikan harus mendengar ini. Ada guru SD yang sudah menerapkan model penthelix di sekolahnya untuk mewujudkan gerakan 5S. Kurasa akan menarik sekali menjadi tesis bahkan disertasi. 

Bu DJ dan Akbar adalah Doer. Mereka tidak terlalu memahami konseptual namun mereka mengeksekusi kerja mereka. Kurasa mereka tidak butuh portofolio dalam bentuk bukti kinerja yang diterapkan dalam jurnal bereputasi ilmiah. 

Sebagai akademisi, aku terbiasa bekerja sebagai pengamat (watcher), sebenarnya menarik sekali mengamati berbagai fenomena dan membuat sebagai bentuk konseptual atau saran implikasi berdasarkan fenomena ilmiah. Sayangnya, pekerjaan sebagai akademisi bagaikan menjadi profesor diatas kertas. 

Tahun 2023 lalu aku bersama tim menerbitkan tulisan di jurnal bereputasi ilmiah Scopus Q1. Di bulan Juli 2024, atasanku mengapresiasi kinerjaku dan baru tahu aku sudah menerbitkan publikasi scopus. Bentuk apresiasi yang didapat adalah menjadi foto flyer di instagram kampus. Sejujurnya aku tak terlalu bangga dengan apresiasi dan hal yang sudah dilakukan. Aku murni melakukannya karena kewajiban mendapatkan hibah penelitian. 

Di Kampus serasa menjadi selebriti, beberapa teman dosen menyelamatiku dan bertanya tips menulis di jurnal publikasi scopus. KKu jawab saja siap-siap jual motormu karena biaya publikasi scopus untuk level Q1 luar negeri antara 20-45 juta, untuk dalam negeri 10-20 juta. Biaya tersebut mengalahkan gaji dosen untung saja waktu itu aku mendapatkan hibah. Ketika aku berhasil masuk publikasi di scopus yang kurasakan perasaan lega karena berhasil menyelesaikan tuntutan hibah, setidaknya aku tidak mendapatkan denda. 

Aku tidak merasakan sensasi 'eureka' ala Archimedes ketika ia berhasil menemukan cara membedakan emas asli dari menghitung berat terapung benda yang akhirnya menemukan teori : Fa = x g x V . 

Ya , tidak harus menemukan konsep teori sebesar itu. Tapi yang ingin kugarisbawahi aku tidak merasakan nilai kepuasan atas kegunaan tersebut. Bayangkan publikasi itu sudah dilakukan sejak tahun 2023 bulan Desember baru diketahui oleh pihak kampus bulan Juli 2024 padahal aku sudah membuat laporan sejak Desember 2023. Pihak kampus tahu karena aku baru mensinkronkan data publikasi sinta dan scopus. Jadi seandainya aku tidak pernah mensingkronkan barangkali tidak ada yang tahu. 

Hal yang menarik ketika aku mendapatkan selamat dari rekan dosen. Kutanyakan pada mereka " Apa hal yang menarik dari temuan risetku?" mayoritas tidak bisa menjawab bahkan judul riset yang kupublikasikan saja tidak tahu. Mereka hanya tahu aku bisa menerbitkan jurnal di level scopus. lalu fakta lainnya, aku sebagai penulis kedua dan ketiga. Kontribusi penulis pertama lebih besar walau aku juga terlibat dalam proses riset dan penulisan. 

Aku merasa seperti dipermainkan oleh sistem yang membodohkan ini. Siapa yang menyatakan publikasi di scopus itu menunjukkan tingkat kepakaran seseorang? Memangnya apa kontribusi scopus ke dalam negeri? Bayangkan biaya 45 juta rupiah untuk publikasi di penerbit Springer bisa membuat program pendidikan untuk siswa bahkan meningkatkan kompetensi guru. Bayangkan biaya tersebut bisa digunakan untuk membeli peralatan praktikum lab seperti beberapa unit mikroskop atau tabung reaksi kimia. 

Aku malu dan lebih bangga dengan kinerja yang sudah dilakukan bu DJ dan Akbar yang sudah memberdayakan komunitasnya. Aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang sudah kulakukan untuk memberdayakan komunitas di sekitarku? sudahkah dengan pengetahuanku aku membuat peningkatan pemberdayaan kelompok? Artikel di jurnal hanya bisa dibaca komunitas tertentu bukan untuk semua orang, struktur kalimat yang rumit yang tidak mampu diserap oleh semua orang. Lalu apa gunanya scopus? jika hanya memakmurkan yang lebih parah penerbit dari negara luar sana. 

Aku rasa sebagai civitas akademis perguruan tinggi, kita kembali dijajah. Kita tidak merdeka. Lalu aku berpikir, apakah ini rasanya menjadi profesor diatas kertas? gelarmu tinggi, reputasi ilmiahmu tinggi namun tetanggamu saja tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan. 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun