Mohon tunggu...
Diana PutriArini
Diana PutriArini Mohon Tunggu... Psikolog - Diana Putri Arini

Penyuka filsafat hidup, berusaha mencari makna hidup agar dapat menjalani hidup penuh kebermaknaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Profesor di Atas Kertas

1 Agustus 2024   21:21 Diperbarui: 1 Agustus 2024   21:32 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

" Oh setiap program saya publikasikan ke media instagram kami. Saya tag terus pihak BPMP biar tahu program kami." 

Saya tertawa. Kuharap pejabat kementrian pendidikan harus mendengar ini. Ada guru SD yang sudah menerapkan model penthelix di sekolahnya untuk mewujudkan gerakan 5S. Kurasa akan menarik sekali menjadi tesis bahkan disertasi. 

Bu DJ dan Akbar adalah Doer. Mereka tidak terlalu memahami konseptual namun mereka mengeksekusi kerja mereka. Kurasa mereka tidak butuh portofolio dalam bentuk bukti kinerja yang diterapkan dalam jurnal bereputasi ilmiah. 

Sebagai akademisi, aku terbiasa bekerja sebagai pengamat (watcher), sebenarnya menarik sekali mengamati berbagai fenomena dan membuat sebagai bentuk konseptual atau saran implikasi berdasarkan fenomena ilmiah. Sayangnya, pekerjaan sebagai akademisi bagaikan menjadi profesor diatas kertas. 

Tahun 2023 lalu aku bersama tim menerbitkan tulisan di jurnal bereputasi ilmiah Scopus Q1. Di bulan Juli 2024, atasanku mengapresiasi kinerjaku dan baru tahu aku sudah menerbitkan publikasi scopus. Bentuk apresiasi yang didapat adalah menjadi foto flyer di instagram kampus. Sejujurnya aku tak terlalu bangga dengan apresiasi dan hal yang sudah dilakukan. Aku murni melakukannya karena kewajiban mendapatkan hibah penelitian. 

Di Kampus serasa menjadi selebriti, beberapa teman dosen menyelamatiku dan bertanya tips menulis di jurnal publikasi scopus. KKu jawab saja siap-siap jual motormu karena biaya publikasi scopus untuk level Q1 luar negeri antara 20-45 juta, untuk dalam negeri 10-20 juta. Biaya tersebut mengalahkan gaji dosen untung saja waktu itu aku mendapatkan hibah. Ketika aku berhasil masuk publikasi di scopus yang kurasakan perasaan lega karena berhasil menyelesaikan tuntutan hibah, setidaknya aku tidak mendapatkan denda. 

Aku tidak merasakan sensasi 'eureka' ala Archimedes ketika ia berhasil menemukan cara membedakan emas asli dari menghitung berat terapung benda yang akhirnya menemukan teori : Fa = x g x V . 

Ya , tidak harus menemukan konsep teori sebesar itu. Tapi yang ingin kugarisbawahi aku tidak merasakan nilai kepuasan atas kegunaan tersebut. Bayangkan publikasi itu sudah dilakukan sejak tahun 2023 bulan Desember baru diketahui oleh pihak kampus bulan Juli 2024 padahal aku sudah membuat laporan sejak Desember 2023. Pihak kampus tahu karena aku baru mensinkronkan data publikasi sinta dan scopus. Jadi seandainya aku tidak pernah mensingkronkan barangkali tidak ada yang tahu. 

Hal yang menarik ketika aku mendapatkan selamat dari rekan dosen. Kutanyakan pada mereka " Apa hal yang menarik dari temuan risetku?" mayoritas tidak bisa menjawab bahkan judul riset yang kupublikasikan saja tidak tahu. Mereka hanya tahu aku bisa menerbitkan jurnal di level scopus. lalu fakta lainnya, aku sebagai penulis kedua dan ketiga. Kontribusi penulis pertama lebih besar walau aku juga terlibat dalam proses riset dan penulisan. 

Aku merasa seperti dipermainkan oleh sistem yang membodohkan ini. Siapa yang menyatakan publikasi di scopus itu menunjukkan tingkat kepakaran seseorang? Memangnya apa kontribusi scopus ke dalam negeri? Bayangkan biaya 45 juta rupiah untuk publikasi di penerbit Springer bisa membuat program pendidikan untuk siswa bahkan meningkatkan kompetensi guru. Bayangkan biaya tersebut bisa digunakan untuk membeli peralatan praktikum lab seperti beberapa unit mikroskop atau tabung reaksi kimia. 

Aku malu dan lebih bangga dengan kinerja yang sudah dilakukan bu DJ dan Akbar yang sudah memberdayakan komunitasnya. Aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang sudah kulakukan untuk memberdayakan komunitas di sekitarku? sudahkah dengan pengetahuanku aku membuat peningkatan pemberdayaan kelompok? Artikel di jurnal hanya bisa dibaca komunitas tertentu bukan untuk semua orang, struktur kalimat yang rumit yang tidak mampu diserap oleh semua orang. Lalu apa gunanya scopus? jika hanya memakmurkan yang lebih parah penerbit dari negara luar sana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun