Mohon tunggu...
Diana PutriArini
Diana PutriArini Mohon Tunggu... Psikolog - Diana Putri Arini

Penyuka filsafat hidup, berusaha mencari makna hidup agar dapat menjalani hidup penuh kebermaknaan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Niat Baik untuk Siapa?

15 Agustus 2021   19:14 Diperbarui: 15 Agustus 2021   19:17 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kapan aku merasa dunia tidak adik kepada perempuan saat mereka hendak aktualisasi diri? Seingatku waktu itu usiaku 17 tahun berencana untuk keluar dari kota kelahiranku ke wilayah disebut kota pelajar. 

Banyak pertentangan orang-orang sekitarku yang mengatakan pergaulan disana buruk, stigma orang Palembang katanya suka ngehamili orang lain, nanti hamil diluar nikah, narkoba, gak selesai kuliahnya. 

Beruntungnya ayahku adalah orang terpelajar dan mempercayaiku, sehingga dia tak ambil pusing dengan pendapat orang lain. Ia percaya aku punya potensi yang harus dikembangkan untuk menjadi lebih baik. 

Aku merasa mengambil kesempatan sebaik-baiknya untuk kuliah, banyak kegiatan yang kuikuti mulai dari belajar, kegiatan organisasi, ikut ajang lomba nasional dan internasional untuk menantang diri, ikut pengembangan diri mulai dari ikut kursus bahasa jepang, public speaking, pelatihan tes psikologi bahkan aku terlibat aktif kegiatan sosial. 

Aku pulang setiap libur semester, aku ingat ayah antusias mendengar ceritaku bagaimana aku mengikuti lomba tingkat nasional ataupun internasional, pengalamanku naik kereta sendirian dari Yogyakarta ke Malang untuk mengikuti lomba, bertemu dengan istri dubes tidak sengaja ketika aku memberikan kursi kepadanya. 

Kupikir itu adalah suatu prestasi atau pencapaian, namun ternyata tidak juga. 

Orang-orang sekitarku tidak tertarik dengan apa yang sudah kulakukan, tak peduli bagaimana caraku meraih prestasi atau hal-hal yang menambah kekayaan diriku. Mereka lebih tertarik siapa pacarku, apakah aku sudah menemukan pasangan? Siapa cowok yang mendekatiku saat ini?  Waktu itu aku tidak bisa menjawab karena saat masih S1 aku tidak tertarik untuk pacaran. Aku merasa pacaran seperti menghabiskan waktu saja dengan jadwalku yang cukup padat. 

Aku teringat salah satu bibiku memberiku saran "sambil kuliah itu jual memek". Memek adalah sebutan alat kelamin perempuan dari bahasa Palembang. Aku terdiam mendengarkan penghinaan ini, aku langsung mengadukan pada ibuku. Ibuku hanya menenangkanku dan bilang mungkin keterbatasan pengetahuannya membuatnya berpikir seperti itu. Aku mencoba menerima walau aku berharap ibu dapat melayangkan protes kepada bibiku atas pelecehan verbal yang diucapkan kepadaku. Padahal bibiku seorang janda, ia punya 2 anak perempuan, anak perempuan tertuanya kuliah di kota Jakarta. 

Ketika aku mau melanjutkan S2, cibiran kudengar dari bibiku yang mengatakan nanti tidak ada laki-laki yang akan mau melamarmu. Perempuan jangan sekolah terlalu tinggi nanti keluarga gak terurus. 

Sepupuku membuat lelucon kepadaku laki-laki yang mendekatiku mundur karena takut dengan perempuan yang kelasnya tinggi, punya penghasilan, sudah bisa beli rumah dan berpendidikan. Apakah sepupuku mengatakan seperti itu adalah bentuk inferiornya karena maskulinitasnya terganggu? 

Sepupuku ini berjenis kelamin laki-laki, dia dipecat dari pekerjaannya karena dampak Covid 19, masih menganggur, baru menikah, dan saat ini sedang berusaha mencari lamaran pekerjaan serta tempat tinggal. Padahal seumur hidupku aku tidak pernah mengomentari kehidupannya mengenai pekerjaannya atau gadis yang dilamarnya. 

Sekarang aku sudah menyelesaikan studiku dan bekerja serta beraktualisasi. Aku bekerja di bidang yang kukuasai, aku menyukai pekerjaan ini, punya lingkungan pertemanan yang menyenangkan dan adanya dukungan sosial. Aku yang sekarang sudah tidak peduli dengan cibiran dan nasihat orang-orang yang mengatakan seharusnya aku menikah dulu. Bahkan dulu aku pernah dibilangin "Kalo terlalu tinggi pendidikan dan pekerjaan perempuan nanti dapatnya duda." 

Menurutku peryataan itu kejam sekali namun apa mau dikata, realita inilah yang sering didengar. Mereka mengatakan perempuan menikah diatas usia 25 tahun memiliki kesuburan yang tidak baik. Lagi-lagi perempuan disalahkan? Riset menunjukkan kualitas sperma pria memiliki potensi menghambat atau melancarkan terjadinya reproduksi. 

Jika perempuan bekerja dengan posisi tinggi akan membuat prianya malu. Lho? bukan pekerjaan kita sebagai perempuan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri orang lain terutama pasangan. 

Itu adalah masalah mereka yang harus diatasi secara pribadi. Apalagi masalah pengasuhan, perempuan disalahkan terutama mereka sebagai ibu pekerja.  Padahal membuat anak kan bareng-bareng, ada kerjasama antara ayah dan ibu, namun kenapa pengasuhan dititik beratkan kepada perempuan? 

Aku suka bertanya-tanya apakah orang yang menasehatiku dengan niat baik menurut mereka adalah orang orang yang berbahagia dengan kehidupannya? Jika kita mencoba makanan enak di suatu resto, sebagian besar orang akan merekomendasikan ke orang lain agar bisa merasakan kenikmatan makanan tersebut. 

Namun ada juga orang yang mencoba makanan tidak enak atau basi, lalu merekomendasikan orang lain untuk mencoba makanan tersebut agar penderitaan sama rata. 

Pernah gak sih ada rekan yang nyobain makanan " Ih gak enak makanannya, asem banget. Coba deh rasain." Aku bertanya kenapa sih menyarankan sesuatu tidak enak? apakah tidak percaya diri dengan kemampuan lidahnya atau biar orang lain juga merasakan sensasi tidak enak tersebut. 

Sama halnya dengan orang-orang yang menganggap kehidupan perempuan diatas 25 tahun itu menderita karena belum menikah dan belum merasakan punya anak. Apakah pernah mereka mengobrol dengan perempuan tersebut mengenai passionnya, pencapaiannya, cita-citanya, atau hobinya. Bukankah kehidupan itu pilihan dan tanggung jawab dari pembuat keputusan tersebut. 

Tubuh perempuan adalah miliknya, sesuka mereka untuk bertindak dan bersikap asal dapat bertanggung jawab. Reproduksi bagi sebagian besar orang bukan masalah perempuan si pemilik tubuh namun masalah publik. 

Kenapa mengomentari kehidupan orang lain yang belum punya anak dan memberikan saran untuk konsumsi ini dan berobat ini tanpa diminta? ini menimbulkan tekanan tersendiri. terutama perempuannya yang disalahkan karena rahimnya tidak subur. Penggunaan kb atau pemilihan kelahiran menggunakan sesar dianggap sebagai pandangan sesat. 

Lebih menyedihkan sekali yang berkomentar tersebut adalah sesama perempuan. Padahal mereka pernah diposisi yang sama. 

Aku kadang bertanya niat baik mereka memberikan nasihat tanpa diminta untuk siapa? 

Apakah murni untuk si penerima nasihat ataukah sebenarnya nasihatnya ditujukan pada diri sendiri karena kesalahan pilihannya? Ataukah sebenarnya ada dorongan tidak sadar yang mengajak agar orang lain juga ikut penderitaan yang sama seperti mereka rasakan?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun