Mohon tunggu...
Diana PutriArini
Diana PutriArini Mohon Tunggu... Psikolog - Diana Putri Arini

Penyuka filsafat hidup, berusaha mencari makna hidup agar dapat menjalani hidup penuh kebermaknaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mental Inferioritas Bergenerasi pada Orang Inlander

20 Januari 2021   19:52 Diperbarui: 20 Januari 2021   19:56 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aku lahir dan besar di kota kecil, aku jarang sekali bertemu dengan orang asing. Sewaktu kelas 6 SD, aku ingat mengikuti studi tur ke Taman Mini Indonesia Indah, waktu itu ada perempuan kulit putih ras kauskasoid membawa anaknya. 

Salah seorang guru mengatakan ayo foto dengan bule itu, aku yang masih kecil ikutan aja. Guruku mengucapkan kalimat bahasa inggris yang intinya minta foto, kita beramai-ramai berfoto. Aku sama sekali tidak mengerti esensinya, namun ada kebanggaan foto dengan bule yang tersirat dari ucapan para guruku dan teman-temanku. 

Usia 17 tahun, aku merantau ke kota Pelajar, di kota Pelajar banyak sekali etnis Indonesia dari berbagai daerah. Jika ingin melihat representasi Indonesia versi kecil datanglah ke Yogya, kamu akan menemukan orang Indonesia dari ujung pulau Sumatera atau daerah terpencil di Papua. Orang asing juga banyak dari ras asia, eropa-amerika, timur tengah ataupun dari daerah mikronesia. 

Ada beberapa pengalaman menarik tentang inferiotas inlander. Suatu ketika aku mengikuti international call for paper dengan tema Wellbeing on Vulnarable Group. Paperku lolos untuk menjadi pemakalah kelas. 

Di seminar besar ada 4 pemakalahnya yaitu Dr. Adrian Captain dari Belanda (aku lupa nama insntansinya) dia memiliki pemahaman hebat tentang nyeri, Dr. Ely Nurhayati, Dr. Nor Jannah dari Universitas Kebangsaan Malaysia, salah satu pembicaranya sebut saja NX (demi nama baik saya memprivasi). 

Aku mendengar percakapan dari dosen yang akrab denganku bahwa penjelasan dari pembicara NX kurang mendalam, kubaca dia masih mahasiswa doktoral berbeda dengan pembicara lainnya Dr. Adrian, Dr. Ely ataupun Dr. Nor. Hal yang kudengar lagi biaya narsumnya lebih tinggi daripada biaya pembicara lokal. 

Aku belum mengerti saat itu, ketika aku masuk master, aku membaca lagi prociding dari paper yang terkumpul. Aku menganalisa memang pemikirannya belum mendalam, aku mencari informasi tentang kampusnya yang berasal dari Hunggaria dengan peringkat dunia 696. 

Dosenku yang menjadi pembicaranya bu Ely lulusan dari University of umea dari Swedia yang memiliki peringkat 255, UGM saja memiliki peringkat 254, selisih sedikit dengan umea. 

Kalau mau sedikit julid, peringkat kampus narasumber NX adalah 600-an dengan kriteria kelas 3, menjadi narasumber di seminar internasional, mendapatkan penghargaan lebih tinggi daripada pembicara lokal yang berasal dair universitas tak kalah tinggi.

Mengapa dia mendapatkan hak istimewa seperti itu? apakah karena rasnya dari kulit putih? Ketika aku membaca papernya, papernya kurang mendalam membicarakan mengenai lansia, papernya masih seperti paper pemakalah dalam ruangan, bukan pemakalah kelas besar. 

Ketika aku mengambil master, aku bertemu dengan salah satu dosen psikologi klinis Prof. Dr. Kwartini Rahayu, panggilannya bu Bo. Dia memiliki keahlian dalam psikopatologi lintas budaya, memiliki pengalaman belajar dan bekerja di Amerika, Jerman dan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun