Mohon tunggu...
Diana Lieur
Diana Lieur Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma orang biasa

No matter what we breed; "We still are made of greed"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Manusia, Antara Status Sosial dan Kemanusiaan

23 Agustus 2018   07:23 Diperbarui: 23 Agustus 2018   15:06 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: ucanews.com

Dulu, saat saya masih duduk di bangku sekolah, dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial atau biasa disingkat sebagai pelajaran IPS, guru saya pernah bertanya begini "Apakah status sosial keluarga mampu mempengaruhi pribadi seseorang ?" dan dengan pedenya saya menjawab "Ya" meski jawaban saya dianggap angin lalu dan asal cuap saja oleh guru saya, tapi saat itu saya sangat yakin bahwa jawaban saya benar. 

Untuk membawa murid masuk ke dalam pembahasan tersebut, sangat menarik bagi saya ketika guru saya ini memberikan selembaran kertas tentang kehidupan pangeran Harry semasa remajanya. Sayangnya, antusias saya pada pembahasan status sosial tersebut tak terlalu terlihat saat itu, toh saya sudah terlanjur dikenal sebagai murid nakal dan acuh. 

Kemudian, setelah beranjak dewasa akhirnya satu persatu kejadian sederhana dalam kehidupan telah membuat saya paham dengan sendirinya, bahwa setiap manusia memang dipisahkan berdasarkan status sosial mereka. 

Ini bukanlah membahas tentang kasta dalam sebuah kepercayaan ataupun melanggar ketentuan bahwa semua manusia adalah sama di mata Sang Pencipta. Sama sekali tidak.

Hanya saja, kita tak bisa mengelak bahwa pada kenyataannya, saya, anda, dan manusia lainnya tetap membatasi diri dengan sebuah tingkatan yang dinamakan "status sosial" entah itu dalam hal baik atau buruk, kenyataannya saya akan tetap memaklumi karena pada dasarnya kita adalah manusia, yang mana selalu ingin dipahami, dihormati, dinomor satukan dan apapun itu yang mampu membuat diri merasa terpuaskan.

Berbicara tentang status sosial, beberapa waktu lalu warganet sempat diingatkan oleh postingan seorang pengacara kondang yakni Hotman Paris di instagram miliknya.

Saya tak tahu jelas bagaimana kejadiannya, hanya saja dalam videonya tersebut, pengacara kodang ini tengah mempermasalahkan seorang suster yang hampir satu jam lebih duduk diam tanpa ikut makan di hadapan majikannya yang sedang asik makan di restorant.

Entah karena suster tersebut sudah kenyang makan di luar restorant atau alasan lainnya, itu bukanlah urusan saya saat ini. Hanya saja saya telah memetik beberapa pesan dari video pengacara kodang tersebut, bahwa manusia tetaplah manusia, meskipun dibatasi oleh status sosial namun kita mesti paham bahwa rasa kemanusiaan mampu mengalahkan ego manusia. 

Pengacara tersebut memang berusaha mengingatkan pada para orang kaya untuk tidak mengabaikan suster atau asisten rumah tangga mereka seenak jidat bagai bubuk rengginang yang alot. Antara majikan dan (maaf) pembantu, keduanya memang memiliki status sosial yang berbeda, dan perbedaan ini lah yang sering kali membutakan cara pandang beberapa manusia terhadap manusia lainnya.

Padahal, kalau saja kita lihat dari asas manfaatnya, keduanya adalah pihak yang saling membutuhkan. Yakni, si majikan butuh bantuan tenaga dari (maaf) pembantunya, dan pembantunya membutuhkan tunjangan secara materi dari sang majikan. Sesimpel itu.

Beralih dari hal saling membutuhkan bagai simbios mutualisme, saya juga punya cerita yang berbeda namun masih tentang status sosial seseorang. Yakni, teman saya pernah bercerita bahwa semasa ia sekolah dulu, ia sering pulang bersama salah satu teman sekolahnya menggunakan transportasi umum atau bus. 

Ia bercerita bahwa saat itu tiba-tiba seorang pengamen yang biasa mengamen di bus tersebut dengan sengaja melemparkan seluruh uang receh kehadapan wajah si temannya.

Dan alasan yang diucapkan pengamen tersebut memang cukup membuat kita menelan ludah, yakni si pengamen merasa marah dan tak dihargai setiap kali ia bernyanyi dan menyodorkan kantong receh di hadapan orang tersebut, sebab orang tersebut selalu diam acuh tanpa memberikan kata maaf atau menggunakan isyarat tubuh bahwa ia enggan memberikan uang pada pengamen tersebut.

Mendengar cerita teman saya mengenai temannya ini, memang membuat saya paham bahwa setiap manusia memang dibatasi oleh status sosial masing-masing, namun jika saja rasa kemanusiaan ada di dalam diri seseorang, rasanya status sosial bukan lagi halangan untuk memenangkan ego serta memandang rendah seseorang

 Sebab (maaf) serendah-rendahnya status seseorang di hadapan orang lain, namun orang tersebut akan tetap kembali pada sifat dasarnya sebagai manusia, yaitu selalu ingin dihargai.

Dalam hal ini, saya pun bukan lah orang yang selalu hidupnya lurus saja tanpa membuat kekacauan. Kadang saya juga sering acuh dengan orang sekitar, contohnya dalam menerima tamu di rumah, saya sering merasa biasa saja jika orang biasa yang berkunjung ke rumah, namun merasa luar biasa jika tamu yang luar biasa berkunjung ke rumah. 

Bahkan sambutan dan jamuan yang diberikan pun akan berbeda. Bukankah hal itu sama-sama sebagai sebab akibat atas perbedaan status sosial seseorang? hanya saja pada taraf yang berbeda. Sungguh saya mohon maaf apabila ada kalimat yang kurang menyenangkan dalam tulisan ini, dan Salam.

Tangerang, 23 Agustus 2018

Diana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun