Mohon tunggu...
Diana Lieur
Diana Lieur Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma orang biasa

No matter what we breed; "We still are made of greed"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Baktiku kepada Ibu Guru Jawa, Menggali Sumur di Tanah Papua

1 September 2016   09:17 Diperbarui: 19 November 2018   09:14 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak semua orang senang mendengarkan cerita dari kawan, saudara, pasangan atau orang lain yang baru saja dikenal diangkutan umum dan lokasi lainnya. Ada beberapa alasan mengapa suatu cerita sangat membosankan. letaknya bisa saja pada cerita yang kurang menarik didengar, bisa juga pada sang  pembawa cerita yang kurang pandai dalam menceritakan pengalamannya padahal ceritanya sangat menarik untuk didengar. selain itu ada juga yang lebih parah, yaitu letaknya pada pendengar yang memang cenderung kurang simpati terhadap cerita seseorang.

Tapi cerita yang kudengar dari saudara kali ini benar-benar kunikmati sambil banyak bertanya karena rasa penasaranku. Diawali dengan cengar-cengir khas bocah kurang kerjaan seperti diriku ini, aku mulai mepet-mepet merapat bagai copet ke samping saudaraku yang tengah asyik duduk di bale bambu dan bercerita lagi tentang pengalaman mengajarnya di tanah papua. Agnes Refrinnas namanya, dia bukanlah seorang penyanyi. Dia hanya seorang ibu guru jawa, begitulah gelar yang diberikan murid-muridnya di Papua. Hehee terdengar lucu memang, tapi mengandung banyak arti dan rasa hormat. Sepertinya aku sudah ketinggalan beberapa cerita karena saat bergabung, ceritanya sudah sampai ke menggali sumur. untung sumurnya belum terlalu dalam digali, kalo sudah dalam waaah mana mungkin sumurnya harus diurug dulu kemudian digali lagi. Supaya aku bisa menulis ceritanya disini. ehhh mengetik, bukan menulis maksudku. 

Bertempatan di SD Inpres 05 Salio, Waigeo, Raja Ampat, Papua Barat. Kisah ini dimulai ketika sulit mendapatkan air bersih, bukan karena tidak ada. tapi lokasinya yang cukup jauh dari tempat tinggal dan lumayan bikin kaki cararangkeul. Maka membuat sumur di samping rumah adalah cara paling tepat. Tapi sebelumnya saya akan ceritakan dulu kisah yang lebih berharga dari sekedar nonton konser dengan tiket VVIP. Berbeda dengan kebanyakan murid SD yang sudah mengenal hiruk pikuk megahnya kota, karena anak-anak di kota biasanya malu dan enggan menyapa gurunya jika bertemu diluar sekolah (Termasuk aku saat SD hehehee). 

Anak-anak di SD salio sangat cepat berbaur dengan guru mereka, dan sangat sering berkunjung kerumah sesekali mereka membuat masakan bersama. Sambil memberikan sayur dan buah-buahan dari hasil berkebun. Hal tersebut mereka lakukan atas inisiatif mereka sendiri dan kadang mama mama atau orang tua mereka sering menyuruh anak-anaknya memberikan hasil kebun sembari menanyakan apakah ibu guru masih punya beras, kalau beras habis maka sumbangan beras dari murid-muridnya lah yang senantiasa membantu. 

Mengharukan memang mendengar ceritanya di saat guru di luar pulau terpencil banyak sekali mendapat perlakuan seenak jidat murid didikannya dan wali murid mereka. Tapi di Papua yang notabenenya masih tertinggal jauh dalam pendidikan malah menjunjung tinggi rasa hormat. Bener, guru disana sangat dihormati. Kalo kalian gak percaya, kesana aja sendiri. ehhh jangan sendiri, ajak-ajak aku lah sebagai teman ngobrol ngalor ngidul hehee.  Hasil alam yang melimpah juga ditambah kekayaan laut yang tak terbatas, menjadikan pulau ini tak pernah sepi dari kegiatan mencari ikan di laut. Lucunya lagi ketika hasil laut yang mereka dapat malah diberikan untuk ibu guru jawa ini, duh benar-benar berbakti kalian. Sesekali anak-anak ini mendapatkan mie instant dari ibu guru jawa, dan anehnya di saat anak kost-kost'n di pulau jawa mengeluh makan mie melulu. Anak-anak ini malah gembira, mungkin karena rasa bumbunya yang sedap seperti mereknya. 

Documen pribadi/ Agnes Refrinnas
Documen pribadi/ Agnes Refrinnas
Singkat cerita, mari kembali lagi ke menggali sumur. berhubung disana hanya ada dua ibu guru jawa yang tidak ahli dalam gali menggali, bingung lah mereka memikirkan cara membuat sumur. Hingga ide ngaco pun muncul, yaitu meminta bantuan murid-muridnya membuatkan sumur. waduh awalnya saudaraku ini ragu karena murid-muridnya masih kecil, tapi dengan iseng dia bertanya "Bisa buatkan ibu guru sumur kah ?". Tak disangka jawabannya adalah "Oh bisa, siap bu guru". Sontak rasa senangpun menghampiri. Benar-benar mengharukan melihat tangan kecil mereka tetapi memiliki semangat yang besar untuk menunjukan baktinya kepada seorang guru. Maka beramai-ramai lah anak-anak hebat ini membuat sumur, entah peralatan cangkulnya darimana didapat karena saat itu aku tak sempat menanyakan. Sambil menunggu anak-anak muridnya menggali, ibu guru jawa pun memasak untuk dimakan bersama-sama. memang tak sebarapa masakannya, hanya ada bihun saja. tapi mereka sangat senang menikmati masakan ala kadarnya, walau awalnya anak-anak ini menolak diajak makan bersama karena rasa ikhlas yang sudah ditanam sejak dini. Ini lah foto yang ku dapat  saat mereka sedang menggali sumur.

Documen pribadi/ Agnes Refrinnas
Documen pribadi/ Agnes Refrinnas
Selain rasa hormat dan ikhlas yang sudah tertanam sejak dini, mereka juga ternyata sudah memiliki rasa toleransi yang sangat tinggi. Anak-anak ini sering berkunjung ketempat tinggal ibu guru jawa untuk bermain atau sekedar mendengarkan cerita tentang keadaan keluarga ibu guru di Pulau jawa, bahkan ketika malam sekalipun meraka sangat senang dan penuh canda tawa. Tapi canda tawa mereka bisa saja hilang atau tertahan sejenak, bukan karena ibu guru jawa ini sedang bercerita kisah sedih. Tapi karena ibu guru jawa sedang menjalankan ibadahnya sebagai seorang muslim, otomatis meraka pun langsung bilang begini "Sssst jangan berisik, ibu guru sedang sholat !" atau "Sssst jangan berisik, ibu guru sedang mengaji !". Hebat bukan ? Padahal hampir seluruh penduduk dikampung tersebut menganut agama non islam selain pemilik warung yang berasal dari Buton.

Itulah cerita yang aku dapatkan dari ibu guru jawa hehee.

Tangerang, 1 September 2016

Diana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun