Memang benar adanya, hidup kadang tak adil
Menumpuk harapan yang harus dibayar
"Nak, semangat belajar dan jadilah anak yang pintar... tak seperti orang tua mu ini"
Begitulah harapan kebanyakan orang tua
Â
Aku heran, mengapa aku dituntut harus pintar ?
Padahal jika besar nanti
Aku tak akan jadi dokter
Karena dari awal aku sudah tau diri
Dan dunia kadang tak adil
Â
Biaya darimana aku jadi dokter ?
Usia ku sudah tak dimaklumi lagi sekarang
Tak wajar bila terus berteriak
"Kapal minta duit !!!!!"
Â
Tapi aku tak mau kalah oleh angin
Katanya angin pun memiliki tujuan
Maka kupastikan pada ayah dan ibu
Tujuan ku adalah menjadi kaya
Jadi berhenti lah menuntut ku menjadi pintar
Â
Percaya lah,
Orang pintar tak selalu berakhir bahagia
Â
Kalau tak percaya,
Coba tengok saja dipabrik kopi sebelah
Ada kawanku yang dulunya benar-benar dipuji para guru
Namanya harum sebagai siswa kls unggulan
Kesana kemari memecahkan soal fisika, kimia, matematika mati-matian
Â
Sementara aku,
Masih cengengesan dengan dasi miring di kls reguler
Tak peduli ocehan protes guru penuh curigaÂ
Karena rumus gelombang ku yang salah
Tapi dengan hasil yang benarÂ
Â
Mulut tak tau diri ini terus mengoceh membela pikiran, seakan kaya raya adalah tujuan paling tepat
Namun mengerem mendadak saat ibu ku bicara
"Nak, menjadi kaya bukan lah tujuan.. tetapi keinginan semua orang"
Ujarnya megakhiri pembicaraan dimeja makan
Â
Sambil mendengar lagu catch my breath dikamar
Aku terus memikirkan kata-kata ibuku tadiÂ
Â
Lamunan membawa ku pada kisah bi hebring tetangga ku
Sambil menenteng gorengan haraneut diatas kepala
Dia selalu teriak,
"Pang laris tanjung kumpul, barang habis duit kumpul"
Lain hal nya dengan pak botak yang masih tetangga ku juga
Sudah tua usianya, namun rumah usang nya tak pernah sepi dari anak-anak
Mereka datang bukan untuk bermain
Melainkan belajar untuk memenuhi tugas dari sekolah
Â
Jika keduanya adalah nasib yang harus kupilih
Tentu lah kalian tau mana yang lebih baik
Â
Matahari pagi mengeluarkan sihirnya
Membangunkan ku yang terlanjur dalam pertengahan semester
Namun matahari tak pernah memaksa ku untuk menjadi pintar
Hanya saja saat hendak mencium harum tangan sebagai adat ketimuran
Ku tatap mata orang tua ku
Â
Tatapannya seolah berkata,,
Teruslah berjuang penuh semangat nak
Karena sepucuk SK telah digadaikan
Teruntuk masa depan anakku tersayang.
Â
Â
Diana, 30 Agustus Tangerang.
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H