Praktik Base Erosion and profit Shifting (BEPS) sebenarnya dialami oleh semua negara di dunia, tak terkecuali Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki pasar digital sangat besar.
Dengan adanya konsensus global atas praktik Base Erosion and profit Shifting (BEPS) untuk pajak ekonomi digital, tentunya merupakan kemajuan yang luar biasa bagi kesepakatan dunia dan berdampak positif bagi indonesia, seperti yang dikemukakan Kementrian Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keterangan pers Presidensi G-20.
Base erosion berarti berkurangnya pendapatan pajak yang mengancam kewenangan perpajakan dan keadilan perpajakan di banyak negara dengan cara profit shifting (pergeseran keuntungan). Dapat diartikan menurut istilah perpajakan, BEPS merupakan tergerusnya basis penerimaan pajak dan perpindahan keuntungan dari suatu negara ke negara lain.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang dilaksanakan pada 15-16 November 2022 di Bali, pembahasan perpajakan internasional mengalami perkembangan yang baik. Beberapa output yang dihasilkan dari pertemuan ini adalah peningkatan jumlah negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting yang menyetujui Two Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy (Solusi Dua Pilar Pajak Digital) menjadi 136 negara, dikutip pajakku.com
Solusi Dua Pilar ini merupakan inisiataif OECD /G20 Inclusive Framework on Base Erosion and profit Shifting (IF) dan telah disepakati oleh negara anggota, termasuk Indonesia.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal dalam acara International Tax Conference, mengungkapkan Indonesia mulai menerapkan Dua Pilar konsensus yang diinisiasi OECD/G-20 sebagai solusi untuk mengatasi tantangan perpajakan yang timbul karena digitalisasi. Implementasi Pilar satu dilakukan pada semester pertama tahun 2023 yang ditandatangani oleh konvensi multilateral, dilanjutkan imlementasi UUTPR (Under Taxed Payment Rule) dan implementasi sepenuhnya pada pilar dua di tahun 2024.
Indonesia pun telah membuat aturan atas implementasi kedua pilar ini dalam Pasal 32A UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Untuk selanjutnya akan diatur pula dalam PP dan PMK.
Dua pilar perpajakan internasional yang telah disepakati ini bertujuan untuk tata kelola ekonomi global yang berkelanjutan dan inklusif dengan menekankan aspek perpajakan produk dan jasa digital serta menjadi kunci bagi otoritas pajak dalam melakukan pemajakan atas transaksi lintas batas berbasis digital serta menangani masalah penghindaran pajak lintas negara, seperti yang diungkapakan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal dalam acara International Tax Conference.
Pada pilar satu, tujuannya menjadi solusi untuk mengatasi tantangan perpajakan dari digitalisasi ekonomi, serta mengalokasikan hak pemajakan kepada negara sumber tanpa mendasarkan kehadiran fisik. Ruang lingkupnya adalah perusahaan multinasional (PMN) beromzet global diatas 20 miliar (jika dirupiahkan setara Rp 327.797.787.800) dan keuntungan di atas 10% yang tidak termasuk ekstraktif dan jasa keuangan.
Manfaat dari konsensus pilar satu bagi Indonesia adalah mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima PMN digital terbesar dan paling menguntungkan. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal Yon menerangkan melalui pengaturan mengenai alokasi hak pemajakan baru dalam komponen Pilar satu, maka Indonesia akan turut memperoleh alokasi hak pemajakan baru dari perusahaan-perusahaan digital yang selama ini telah beroperasi di Indonesia namun tidak dapat dipajaki dikarenakan tidak adanya kehadiran fisik dari perusahaan tersebut.
Sementara pilar dua, tujuannya menjadi solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak, terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE) terkait penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum, dan Subject to Tax Rule (STTR) terkait pemberlakuan tarif withholding tax. Dalam pilar dua telah disepakati mengenai tarif pajak minimum yang akan diberlakukan pada perusahaan multinational yang memiliki peredaran bruto tahunan sebesar 750 juta atau lebih (jika dirupiahkan setara Rp 12.326.735.310.000) dan memastikan perusahaan multinasional dikenakan tarif pajak minimum 15%.