Sebagai generasi yang besar di tahun 1990 an, bernostalgia dengan memori dan kenangan akan momen dan situasi tahun 1990 an selalu menghasilkan emosi positif yang bernama rindu. Yes, Â saya rindu akan masa-masa itu. Mengamati foto, video atau hal-hal kecil yang membawa kita pada atmosfer tahun 1990 an selalu membuat mata saya berkaca-kaca ( hehehe, lebay ). Â Bak memasuki mesin waktu, beberapa memori yang muncul, benar-benar membawa saya pada tahapan-tahapan di periode tahun tersebut. Mulai dari tahapan kehidupan saat masa kecil hingga remaja.
Secara spesifik, saya memang senang bernostalgia. Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam  Journal of Experimental Social Psychology mengatakan, bernostalgia dapat membantu setiap individu dalam menghadapi segala tantangan dalam hidupnya.  Dengan mengurai kembali kenangan akan masa lalu, seseorang akan merasa hidupnya lebih bermakna dan berharga. Terlebih jika diiringi dengan hembusan energi rasa syukur akan segala berkah dan pencapaian hidup yang  sudah diraih hingga saat ini, juga keberhasilan dalam melewati berbagai rintangan dan tantangan dalam hidup.
Dan di saat bulan Ramadhan seperti ini, kenangan akan momen-momen ramadhan di masa lalu kembali menyeruak memenuhi isi kepala saya. Terlebih jika tiba-tiba muncul vibes  ( atmosfer) yang berhasil membawa saya kembali menikmati kenangan pada momen-momen tersebut. Setiap zaman memang mempunyai keunikannya tersendiri. Dan momen Tahun 90 an merupakan momen yang paling seru menurut saya.  Momen di mana teknologi informasi belum semasif seperti saat ini. Momen di mana kebersamaan saat berkumpul dengan teman dan keluarga terasa lebih dekat dan hangat, momen di mana acara, siaran radio dan media cetak ( majalah, koran dan tabloid) menjadi hiburan yang  bermakna ( karena belum ada gadget). Momen di mana era transformasi digital belum mendominasi aktivitas hidup sehari-hari seperti saat ini. Tenang dan damai. Begitulah menurut saya. Mungkin ada yang tidak setuju dengan pendapat saya. Ada yang beranggapan, zaman sekarang lebih enak karena lebih canggih, mobilitas teknologi informasi lebih cepat, serba praktis dan sat set dibandingkan zaman dulu. Meskipun ada benarnya, tapi perkembangan kehidupan dan teknologi yang berkembang tempo dulu juga sarat akan akan nilai dan makna yang tak kalah penting dan bisa dijadikan pembelajaran dalam hidup.
Bulan ramadhan bagi anak 90 an adalah momen di mana ngabuburit dapat diisi dengan menonton tayangan TV program Ramadhan  yang semarak pada saat itu, atau berkumpul dengan teman-teman di mesjid dekat rumah untuk mengikuti pengajian yang berlanjut dengan buka puasa bersama. Sore hari saat berburu takjil juga menjadi momen yang luar biasa manis. Betapa tidak, berdiri mengantre saat membeli lontong dan gorengan yang pada waktu itu dengan uang 5000 perak bisa mendapatkan 20 buah gorengan menjadi kenangan tak terlupakan. Apalagi kalau saya membandingkan harga gorengan zaman dulu dengan harga gorengan saat ini yang sudah naik berkali-kali lipat. Hehehe...Amazing....  Saat siang hari, sepulang sekolah, tempat penyewaan buku menjadi tempat yang asyik untuk dikunjungi. Berburu novel dan buku cerita menjadi momen yang mengasyikkan. Dengan uang 250 sampai 300 perak, bisa mennyewa 1 buku.  Saat itu saat bulan puasa, sekolah tetap masuk dan saya tetap mendapat uang jajan dari orangtua. Dan uang jajan itu saya gunakan untuk menyewa buku atau membeli kertas binder di Abang-abang yang jualan di depan gerbang  sekolah yang pada waktu itu harganya  berkisar antarab 200 perak per lembar untuk merk biasa dan 500 perak untuk merk harvest. Kok bisa beda? LTentu saja, karena kertas keluaran Harvest, kualitasnya lebih oke. Kertasnya lebih tebal dan desainnya lebih variatif. Bagi anak 90 an, mengoleksi kertas binder atau kertas file merupakan hobi yang cukup ngetrend. Dan koleksian kertas binder saya saat itu lumayan banyak mulai dari yang polos hingga bermotif karakter animasi seperti Sailormoon, Winnie The Pooh, Doraemon, Donald Duck, Mickey Mouse dan masih banyak lagi. Dan kertas-kertas itu biasanya hanya untuk dikoleksi. Kalau dipakai untuk menulis, rasanya kok sayang ya, hehehehe.
Saat malam hari, kegiatan mengantre untuk meminta tanda-tangan dari Imam sholat dan penceramah pasca sholat tarawih juga tak kalah seru. Menunggu di pelataran mimbar sambil berbaris rapi memegang buku catatan kegiatan Ramadhan sambil kadang berdesak-desakan dengan anak-anak lain menjadi kenangan tersendiri. Paling menyebalkan saat itu, juga sudah mengantre lama lalu seenaknya diserobot dengan anak-anak lain, yang kenyataannya tidak sholat atau hanya sholat beberapa rakaat saja dan selebihnya berlari-larian atau bercanda.
Bermain kembang api sambil bercengkrama dengan teman atau berjalan-jalan sambil berwisata kuliner juga menjadi kebiasaan yang kerap saya lakukan di malam hari di bulan Ramadhan. Tak peduli di rumah sudah banyak makanan, jajanan seperti kue cubit, gulali, dan rambut nenek tetap diburu ( kalau saat ini, sudah pasti seblak dan bakso yang jadi sasaran buruan, hehehehe).
Saat memasuki usia remaja, aktivitas mengantre di telepon umum dan wartel juga menjadi agenda yang lumayan sering dilakukan saat bulan ramadhan. Biasanya telpon-telponan dengan teman sekolah atau gebetan di tempat les. Obrolannya pun seputar membahas tugas-tugas di sekolah atau obrolan basi tentang bagaimana puasa hari itu. Oh iya, paling seru saat di era pemerintahan Presiden Gusdur di mana saat itu sekolah libur selama satu bulan full selama bulan ramadhan. Luar biasa. Benar-benar menyenangkan. Menikmati hari-hari puasa tanpa harus tergesa-tergesa dengan rutinitas bangun pagi setelah tidur lagi pasca makan sahur, hehehehe.
Atmosfer tahun 90 an memang selalu bikin kangen. Jika seandainya mesin waktu itu ada, ingin rasanya memasuki dimensi waktu 90 an dan kembali lagi menikmati romansa meskipun hanya sebentar saja. Menuntaskan rasa rindu akan masa-masa itu,terlebih kerinduan akan orang-orang terkasih yang sudah pergi menghadap Illahi ( ingin berjumpa dan memeluk lagi mereka lagi walau hanya sekejap saja, hiks hiks hiks). Pepatah bijak mengatakan waktu tidak akan terulang. Oleh karena itu manfaatkanlah sebaik mungkin. Memanfaatkan waktu secara bijak bukan hanya sekedar fokus menghabiskannya untuk hal-hal yang menjadi goals atau cita-cita dalam hidup tapi juga belajar memaknai dan merasakan nilai-nilai yang ada pada saat itu. Menikmati proses, mungkin itu kurang lebih maksudnya. Bagaimana secara bijak kita menikmati proses bergulirnya detik-detik waktu dalam keseharian dan bukan hanya sekedar menghabiskannya karena terlalu fokus pada tujuan.
Menikmati kerinduan akan atmosfer ramadhan di tahun 90 an memang tidak ada habisnya. Perasaan menjadi campur aduk, seperti yang saya rasakan saat ini. Sedih, senang, kangen, semua jadi satu. Walau bagaimana pun waktu tetaplah waktu. Menikmati kerinduan boleh-boleh saja tapi jangan lupa untuk fokus pada momen saat ini. Jangan sampai romansa kerinduan akan atmosfer tempo dulu membuat kita lengah akan tugas dan kewajiban utama yang harus kita lakukan saat ini. Terlebih di penghujung terakhir ramadhan seperti sekarang ini. Detik-detik di mana kita harus lebih banyak meningkatkan ibadah untuk meraih kemuliaan dan rahmatNYA. Karena waktu tidak akan terulang. Mari manfaatkan dengan bijak sembari memaknai nilai-nilai yang ada di dalamnya. Yuk, semangat meraih lailatul Qadar...Bismillah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H