Katanya sekolah ramah anak. Katanya sekolah itu harus menyenangkan. Katanya sekolah itu jangan membuat siswa stress. Katanya kurikulum merdeka. Katanya ini dan itu, banyak sekali...
Tapi, selain kisah klasik pendidikan Indonesia yang berupa masuk sehari penuh, jarang diliburkan meski ada momen istimewa seperti ada karnaval 17 Agustus, juga ada hal lain yang menjengkelkan lagi, yaitu momen lomba di hari-hari tertentu yang diisi dengan lomba-lomba yang serius.
Lomba serius itu katanya atas nama pendidikan karakter, atas nama ilmu pengetahuan, atas nama mengejar mutu.
Atas nama-atas nama itulah, meski hanya diadakan setahun beberapa hari, setiap acara 17 Agustus, acara Kegiatan Tengah Semester (KTS), acara peringatan Kartani, dan acara-acara lain, acara-acara tersebut pasti diisi dengan lomba-lomba yang serius. Dipilih lomba-lomba yang bisa membuat dahi berkerut, bisa membuat siswa lebih memilih nongkrong di kantin daripada nonton lomba, bisa membuat guru lebih memilih sembunyi di dalam ruang guru sambil mengamati gawai daripada nonton lomba.Â
Bukannya diadakan lomba-lomba yang menyenangkan, yang bisa mengurangi stress, yang bisa melepaskan hormon endokrin yang bisa membuat bahagia, yang bisa membuat tawa lepas.
Dan lomba yang diadakan tersebut adalah lomba pidato, baca puisi, membuat tulisan pendapat, debat, cerdas-cermat, dan lain-lain.Â
Memang lomba ini bermutu sekali, tapi...
Tapi baiklah akan kuceritakan sebuah lomba yang lebih 'tidak bermutu' lagi, yang dilakukan oleh para siswa, yaitu lomba makan kerupuk dan lomba balap karung.
Waktu itu lomba memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia.Â
Layaknya para pejuang dulu yang berjuang menggunakan taktik untuk memenangkan pertempuran, para siswa itu pun, menggunakan taktik, mulai dari menghimpun dana, minta jam dikosongkan, dan lain-lain.Â
Maka hari itu, dengan menggunakan topinya, para siswa yang berjuang itu menyender di tiang-tiang saka sekolah, mendekati dan melobi guru-gurunya, untuk minta uang.