Penjual pertama, ia membiarkan aku lama menunggu seolah ia sedang sibuk mengutak atik sesuatu, padahal ia tau kardus hape kubawa dan kuletakkan di etalase tokonya. Beberapa saat ketika akhirnya dia menghampiri dan memeriksa hapeku, dia bilang hanya mau membeli seharga 4oo ribu saja.
Aku memilih pergi. Kata anakku dulu, hapeku ini dibelinya seharga 8oo ribu. Aku berharap kali ini bisa menjualnya seharga minimal 5oo ribu.
Aku menuju toko hape lainnya. Dia hanya melirikku sekilas. Dan waktu aku mengatakan hendak menjual hape, dia mengibaskan tangannya tanpa mau melihat ke arahku. Sabar mbah.. aku menghibur diri sendiri.
Penjual ketiga pun menolak membeli hapeku. Katanya hapeku model lama, jadul. 'sekarang ini jamannya Andukin, mbah', gitu katanya..
Disinilah cucuku Sania mengatakan padaku saat kami keluar toko itu,
' mbah kita ini kayak pengemis ya..'
Hatiku miris. Aku pantang minta-minta, jangan sampailah kami menjadi pengemis sungguhan. Tak kusangka juga sebenarnya, menjual hape menjadi hal yang susah. Terkadang memang terasa diacuhkan bagai peminta-minta gratisan, padahal katanya hape ini barang mahal, buat nggaya bisa, buat telpon juga bisa.
Aku lalu menggandeng cucuku yang mulai nampak lelah menemaniku, menuju toko hape keempat. Toko hape terakhir yang kuniatkan 'kulepas jika mau beli walau dengan angka 4oo ribu seperti toko yang pertama'.
Akhirnya hape pun terjual juga dengan harga 45o ribu. Aku tersenyum senang, besok bisa untuk membayar tunggakan sekolah sania, dan aku bisa tenang berjualan buah keliling lagi.
Esoknya seperti biasa aku mulai berjalan berkeliling lagi. Aku sekarang harus berupaya lebih keras agar daganganku laku keras. Aku butuh uang karena Darmi sepertinya juga belum mengirimi lagi entah sampai kapan. biasanya ruteku berjualan di perumahan dan kampung-kampung. Aku kerap berpindah-pindah agar orang tidak bosan padaku.
himpitan ekonomi membuatku harus mencari cara agar jualanku habis laris manis. Akupun mempunyai cara unik, yang mungkin cuma aku yang melakukan itu, yaitu dengan cara menangis. Ya, aku menawarkan buah daganganku sambil menangis. Biasanya kata-kata andalanku,