Mohon tunggu...
dian teguh
dian teguh Mohon Tunggu... -

masih kuliah di fakultas teknologi pertanian, dan aktif menulis di LPM manifest

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Terpikat Maisin

17 September 2016   17:02 Diperbarui: 17 September 2016   17:35 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Baru sebulan lalu, salah satu teman mengunduh semua serial sandiwara radio Saur Sepuh. Saya yang berada di dekat meja kerjanya tentu mendengar apa yang dia dengarkan. Jujur saja, saat itu saya sangat terusik. Saya lebih menyukai mendengar musik daripada ikut mendengar apa yang dia dengarkan.

Sayangnya, dia lebih senior daripada saya. Dengan mendem,saya matikan saja musik, dan ikut mendengarkan serial radio itu. Saya mencoba mengikuti sepotong dialog. Dan ternyata, tidak butuh waktu lama, suara drama radio yang pernah populer di tahun 90-an itu membuat saya terpikat.

Pekerjaan yang menumpuk sedikit terabaikan. Saya menggeser badan, dan memfokuskan pendengaran. Luar biasa, secara tidak sadar saya berimajinasi. Suara Maisin, terbayang sosok perempuan cantik dan lembut. Karakter suaranya membuat saya bisa terlibat dalam cerita. Tidak pikir panjang saya meminta semua serial yang diunduh itu.

Sandiwara radio itu mengingatkan kembali saat saya masih kecil dulu. Begitu populernya, hingga hampir semua orang pada masa itu tahu jalan ceritanya. Semua orang juga menjadi pendengar setia radio. Bahkan, ada yang hampir tidak pernah menggeser salurannya.

Saat itu, saya masih sangat kecil. Hanya sekelebatan saja yang muncul saat teman kerja mengingatkannya kembali sebulan yang lalu. Saya pun tertarik untuk mencari apa yang terjadi dengan sejarah perkembangan radio.

Saya menemukan sesuatu yang menarik untuk dikaji. Salah satu refrensi yang saya temukan adalah buku berjudul Jurnalistik Radio – Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar. Buku ini karangan dari Masduki tahun 2001, terbitan LKiS. Dalam paparannya, ternyata radio sama seperti media lainnya saat pemerintahan Soeharto. Dimana saat itu pembatasan radio begitu ketat. Setiap hari harus menyiarkan 14 kali berita dari pemerintah. Stasiun radio swasta dan komunitas tidak diperkenankan memproduksi berita sendiri. Independensi mereka pun terebut.

Berita hanya menjadi pelengkap dari hiburan-hiburan yang diperdengarkan di radio. Padahal radio bersifat lokal dan faktual. Jika hanya mencomot berita dari pemerintah, tentunya yang didengarkan hanya seputar berita-berita nasional yang jauh dari tempat para pendengar. Itupun berita-berita pesanan untuk meninabobokan masyarakat saja.

Makanya, saat reformasi, terjadi euforia media, termasuk juga radio. Semua media seolah bebas mengekspresikan diri. Idealisme media terlahir kembali. Tumbuh semangat untuk membangun demokrasi.

Muncul radio-radio swasta dan komunitas mempunyai beritanya sendiri. Berita-berita tersebut menginformasikan lokalitas yang sangat dekat dengan pendengarnya. Bahkan, para pendengar juga bisa berinteraksi secara langsung. Jika ada suatu isu yang berpotensi mengganggu kenyamanan masyarakat akan cepat ditanggapi dengan berbagai cara. Liputan secara langsung, diskusi publik, dan berbagai tanggapan langsung dari masyarakat.

Sifatnya yang faktual, langsung, dan tanpa jeda, membuat radio menjadi media penyampai informasi tercepat. Lebih cepat daripada media sosial yang saat ini begitu booming. Lebih-lebih dalam lokalitas, dimana radio adalah juaranya.

Era reformasi tersebut memberikan gambaran kuat bahwa radio sangat penting untuk pemerataan kemajuan daerah. Dimana akses tersebut masih belum bisa dijangkau oleh televisi dan internet. Yang masih banyak berkutat pada informasi di kota besar saja.

Radio mampu menjangkau hingga ke pelosok pedesaan. Gelombangnya bisa ditangkap dengan sangat mudah. Apalagi, biayanya begitu murah. Hanya membutuhkan alat penangkap gelombang radio. Setelah itu, bisa dinikmati secara gratis.

Akses radio ini juga mendapatkan penghargaan tinggi dari organisasi dunia. Organisasi internasional dalam bidang pendidikan dan kebudayaan dunia UNESCO, mengakui radio sebagai media dengan kekuatan untuk transformasi masyarakat. Bahkan, PBB lewat sekjennya Ban Ki Moon pada hari radio sedunia tahun 2013, mengatakan kalau radio ikut menyumbang perdamaian dunia. Lewat radio informasi yang tiada jeda bisa menyelamatkan nyawa masyarakat yang terkena bencana dengan melaporkan fakta dan kisah mereka.

Sayangnya, euforia pesatnya perkembangan radio pasca reformasi kini sudah mulai meredup. Terjadi penurunan kualitas jurnalis. Saya tahu itu, karena saya sendiri juga seorang jurnalis. Tidak banyak jurnalis yang paham kode etik. Banyak yang memanfaatkan profesi untuk meraup keuntungan untuk kepentingannya sendiri.

Penuruan kualitas ini, diakui sendiri oleh Masduki dalam bukunya itu. Apalagi dengan semakin gencarnya media lain. Seolah radio kehilangan identitasnya. Banyak timbul pertanyaan dari para pegiat radio sendiri. Apakah harus ikut bersaing lewat teknologi yang semakin pesat, atau bertahan pada masa keemasan era 90-an.

Kegamangan tersebut juga diakui oleh ketua Aliansi Wartawan Radio Indonesia (Alwari) Imam Musaman dalam berita yang diunggah oleh kbr.id tahun 2013. Dalam artikel yang berjudul Perkembangan Radio Pesat di Indonesia Pasca Orde Baru, ada dua masalah yang kini dihadapi. Pertama adalah sumber daya manusia pegiat radio semakin menurun. Dan kedua adalah dari segi bisnis, dimana para pendengarnya semakin banyak pilihan media lainnya.

Padahal, ada yang tidak tergantikan dari radio. Yaitu unsur imajinatif. Lewat suara, pendengar akan merasakan keterlibatan secara langsung. Bahkan secara tidak sadar pendengar akan membayangkan setiap peristiwa yang diceritakan dari reportase.

Lebih-lebih ada unsur interaktif yang bisa memposisikan para pendengar menjadi reporter. Akhir-akhir ini muncul istilah jurnalisme warga, dimana warga juga punya peran untuk ikut dalam fungsi informatif di media massa. Jurnalisme warga tersebut disinyalir muncul akibat perkembangan teknologi informasi terutama internet yang semakin masif. Tapi ternyata keterlibatan pendengar radio dalam pemberitaan lebih mendahului, daripada munculnya wacana jurnalisme warga tersebut.

Radio punya segmen geografis yang kental dengan unsur lokalitas.  Lokalitas itulah berpotensi memperkuat karakter sebuah daerah. Mengingat, Indonesia adalah negeri dengan keberagamaan luar biasa. Apabila karakter setiap daerah semakin kuat, maka akan tumbuh keberagamaan yang semakin memperindah negeri ini.

Transformasi masyarakat pun akan lebih mudah dilakukan dengan media radio ini. Lewat berbagai macam diskusi untuk menyelesaikan persoalan di tataran lokal. Lewat interaksi secara langsung dari para pendengar dan pemangku pemerintahan. Lewat seni dan budaya yang tersaji dalam dialek khas sehari-hari. Tinggal bagaimana pegiat radio memanfaatkannya.

Lewat kedekatan geografis tentunya juga mendekatkan emosional pendengarnya. Disini, pegiat radio dituntut mampu menggugah emosi. Pengalaman emosional itu tentunya akan jalan utama mengait hati.

Seperti era keemasan radio dulu. Ada yang tertinggal bagaimana orang bisa melihat dengan telinga. Sehebat apapun teknologi, membuat pendengar radio selalu rindu mendengar cas cis cus penyiarnya. Jika sudah terkait, tidak mendengar sehari, akan terasa ada yang hilang di hati.

akun facebook: Dian Teguh Wahyu Hidayat (https://www.facebook.com/DianTeYowCetar)

akun twitter: @teguh_cetar (https://twitter.com/teguh_cetar)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun