Radio mampu menjangkau hingga ke pelosok pedesaan. Gelombangnya bisa ditangkap dengan sangat mudah. Apalagi, biayanya begitu murah. Hanya membutuhkan alat penangkap gelombang radio. Setelah itu, bisa dinikmati secara gratis.
Akses radio ini juga mendapatkan penghargaan tinggi dari organisasi dunia. Organisasi internasional dalam bidang pendidikan dan kebudayaan dunia UNESCO, mengakui radio sebagai media dengan kekuatan untuk transformasi masyarakat. Bahkan, PBB lewat sekjennya Ban Ki Moon pada hari radio sedunia tahun 2013, mengatakan kalau radio ikut menyumbang perdamaian dunia. Lewat radio informasi yang tiada jeda bisa menyelamatkan nyawa masyarakat yang terkena bencana dengan melaporkan fakta dan kisah mereka.
Sayangnya, euforia pesatnya perkembangan radio pasca reformasi kini sudah mulai meredup. Terjadi penurunan kualitas jurnalis. Saya tahu itu, karena saya sendiri juga seorang jurnalis. Tidak banyak jurnalis yang paham kode etik. Banyak yang memanfaatkan profesi untuk meraup keuntungan untuk kepentingannya sendiri.
Penuruan kualitas ini, diakui sendiri oleh Masduki dalam bukunya itu. Apalagi dengan semakin gencarnya media lain. Seolah radio kehilangan identitasnya. Banyak timbul pertanyaan dari para pegiat radio sendiri. Apakah harus ikut bersaing lewat teknologi yang semakin pesat, atau bertahan pada masa keemasan era 90-an.
Kegamangan tersebut juga diakui oleh ketua Aliansi Wartawan Radio Indonesia (Alwari) Imam Musaman dalam berita yang diunggah oleh kbr.id tahun 2013. Dalam artikel yang berjudul Perkembangan Radio Pesat di Indonesia Pasca Orde Baru, ada dua masalah yang kini dihadapi. Pertama adalah sumber daya manusia pegiat radio semakin menurun. Dan kedua adalah dari segi bisnis, dimana para pendengarnya semakin banyak pilihan media lainnya.
Padahal, ada yang tidak tergantikan dari radio. Yaitu unsur imajinatif. Lewat suara, pendengar akan merasakan keterlibatan secara langsung. Bahkan secara tidak sadar pendengar akan membayangkan setiap peristiwa yang diceritakan dari reportase.
Lebih-lebih ada unsur interaktif yang bisa memposisikan para pendengar menjadi reporter. Akhir-akhir ini muncul istilah jurnalisme warga, dimana warga juga punya peran untuk ikut dalam fungsi informatif di media massa. Jurnalisme warga tersebut disinyalir muncul akibat perkembangan teknologi informasi terutama internet yang semakin masif. Tapi ternyata keterlibatan pendengar radio dalam pemberitaan lebih mendahului, daripada munculnya wacana jurnalisme warga tersebut.
Radio punya segmen geografis yang kental dengan unsur lokalitas. Â Lokalitas itulah berpotensi memperkuat karakter sebuah daerah. Mengingat, Indonesia adalah negeri dengan keberagamaan luar biasa. Apabila karakter setiap daerah semakin kuat, maka akan tumbuh keberagamaan yang semakin memperindah negeri ini.
Transformasi masyarakat pun akan lebih mudah dilakukan dengan media radio ini. Lewat berbagai macam diskusi untuk menyelesaikan persoalan di tataran lokal. Lewat interaksi secara langsung dari para pendengar dan pemangku pemerintahan. Lewat seni dan budaya yang tersaji dalam dialek khas sehari-hari. Tinggal bagaimana pegiat radio memanfaatkannya.
Lewat kedekatan geografis tentunya juga mendekatkan emosional pendengarnya. Disini, pegiat radio dituntut mampu menggugah emosi. Pengalaman emosional itu tentunya akan jalan utama mengait hati.
Seperti era keemasan radio dulu. Ada yang tertinggal bagaimana orang bisa melihat dengan telinga. Sehebat apapun teknologi, membuat pendengar radio selalu rindu mendengar cas cis cus penyiarnya. Jika sudah terkait, tidak mendengar sehari, akan terasa ada yang hilang di hati.