Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, film pertama di tahun 2020, satu-satunya film yang saya tonton dua kali sampai detik ini di bioskop, tapi anehnya film ini justru yang paling sulit saya tulis reviewnya. Kalau dihitung-hitung mungkin sudah lima kali lebih saya bolak balik buat draftnya. Awalnya saya nonton series NKCTHI di Youtube beberapa bulan lalu, ada 3 episode waktu itu. Kok bagus ya, muncul nama Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara, langsung manggut-manggut. Pantesan, tiba-tiba ingat bagaimana saya jatuh cinta pada film Filosofi Kopi dan kemudian pada series ini
Eh di bulan Januari tidak sengaja lihat iklan trailer filmnya, baru tahu juga kalau ternyata diadaptasi dari buku judul yang sama karya Marchella FP. Pas banget kan sama ajakan Kompasianer Jogja buat nobar, Sabtu 18 Januari kemaren kita nonton film Nanti Kita Cerita Hari Ini di XX1 Sleman City Hall Yogyakarta. Jujur, bingung mau review film ini mulai dari mana. Seperti biasa dari awal tanpa ekspektasi berlebih, masuk ke studio satu. Penontonnya rame banget ternyata, lumayan terisi penuh, 3 baris depan yang bukan kursi favorit kosong. Â Pantas saja sudah mencapai 2 juta penonton di minggu ke dua film ini diputar.
film-nkcthi-05-5e29c2a1097f364b6c4728b2.png
Lima belas menit pertama film diputar, penuh dengan pertanyaan ada apa sih, kenapa sih, seperti menemukan potongan puzzle tapi nggak tahu mesti diletakkan di mana. Angkasa (Rio Dewanto) si sulung, Aurora (Sheila Dara) si anak tengah dan Awan ( Rachel Amanda) si anak bungsu, mereka lahir, dibesarkan dan dididik di keluarga yang sama namun saat tumbuh dewasa  punya karakter yang berbeda. Kepingan puzzle berisikan scene masa kecil sebelum kelahiran Awan dan scene saat Angkasa beranjak remaja dihadirkan mengisi silih berganti.
film-nkcthi-04-5e29c2c3097f367e53595742.png
Di pertengahan film sedikit merasa 'lelah" mencari-cari dan meletakkan kepingan-kepingan puzzle. Sebelah saya tampak serius menatap layar, sesaat terdengar bunyi suara 'gemresek', wah rupanya film ini sudah menguras air matanya. Entah apa yang membuat dia tersentuh, barangkali scene saat ibu (Susan Bachtiar) memeluk Angkasa, Aurora dan Awan kali ya. Pelukan hangat seorang ibu yang mungkin sedang dia rindukan, membuat air matanya tanpa sadar menetes. Ya, film ini bicara tentang keluarga, menyentuh sisi personal terdalam seseorang. Betapa sering sebagai seorang anak sulung, kita mendengar ayah atau ibu berkata, ' Jaga adek-adeknya, Ngalah dong sama adeknya, Jangan nakal sama adeknya'. Rasanya ada sebagian sisi dari kita yang muncul di tokoh Angkasa sehingga kita bisa merasakan gimana sih perasaan si Angkasa ini.Â
film-nkcthi-03-5e29c1c7d541df0dbb761c54.png
Pencairan kepingan puzzle yang melelahkan sedikit ter-distract dengan lagu-lagu OST yang menjadi backsound setiap adegan. Lirik-liriknya terkadang berbicara untuk mengisi kekosongan dialog. Coba saja dengarkan lirik lagu Secukupnya yang dinyanyikan oleh Hindia atau Untuk Hati Yang Terluka oleh Isyana Svarasti. Terkadang saya menerka-nerka kepingan puzzle itu ada di dialog tokoh-tokohnya. Setiap kalimat yang diucapkan penuh makna dan kadang menyentuh bagian diri yang paling disembunyikan, justru menjadi kekuatan dari film ini.Â
Dan yang paling saya suka adalah pengambilan gambarnya yang bagus banget. Saat pengambilan gambar yang tidak terlalu banyak cahaya, justru menimbulkan efek seperti siluet yang fotogenic. Pas lampu-lampu di belakang Aurora dimatikan satu persatu, adegan itu dramatic banget tapi cantik. Dan yang terlihat itu lingkaran hitam di belakannya. Mungkin itu menggambarkan kesedihan, atau bisa juga kemarahan, perasaan yang dia simpan lama untuk dirinya sendiri.
Perasaan Aurora yang dia pendam ini rupanya menjadi petunjuk ke kepingan puzzle itu. Sebuah rahasia yang dijaga oleh sang ayah (Donny Damara). Sosok seorang ayah yang akan selalu memberikan apa saja yang terbaik untuk anak-anaknya dan menjaga agar semua keluarga bisa bahagia. figure ayah dan suami yang terbaik lah pokoknya. Oiya selain keluarga bapak Rendra dan Ibu Ajeng, ada juga tokoh Kale (Andhito Pramono) yang dikenal oleh Awan di sebuah konser musik dan membuat sedikit perubahan cara berpikir dan perilaku Awan di mata sang Ayah.
Sebuah percakapan Angkasa, Aurora dan Awan di rooftop sebuah gedung dengan latar belakang sunset yang begitu indah menutup kepingan puzzle yang hilang itu. Sunset is proof that ending can be beautiful too. Mengakhiri hari dengan indah begitulah kira-kira. Bagaimana caranya bisa bahagia kalau sedih aja nggak tahu rasanya kayak apa? Dan kesedihan itu bukanlah perasaan yang bisa diatur dengan tombol on/off. Menurut saya, ini lah scene favorit di film ini.Â
film-nkcthi-02-5e29c25dd541df3bbc76d163.png
Penutup
Sebagai seorang anak kita tidak pernah diberikan pilihan untuk memilih siapa orang tua kita dan akan dilahirkan di keluarga yang bagaimana. Keadaan ekonomi, masa lalu orang tua bahkan apakah kita akan terlahir sebagai anak pertama atau terakhir juga tidak ada pilihan. Keluargalah yang membentuk sifat, sikap, kebiasaan, karakter dan kepribadian seorang anak. Keluarga adalah tempat pertama seorang anak mengawali hidupnya. Semua cerita kehidupan itu sudah dituliskan, bahkan sebelum si anak lahir, mungkin cerita tentang dia sudah dimulai.Â
"Sampai kita mulai lelah dan berserah, saat itulah semesta bekerja" Awan
Lampu bioskop dinyalakan, sambil menunggu credit title running, saya tengok kanan kiri. "Aku pasti mewek" kata mb Retno sambil menghapus sisa-sisa air matanya. Film ini menghabiskan tissunya rupanya. Woalah ternyata temen-temen KJog terbawa emosi si film. Terlalu emosional efeknya sehingga membuat mereka buru-buru ke kamar mandi untuk mencuci muka. Biasanya kan sebelum pulang kita foto-foto dulu. Masak foto session muka dan mata sembab. Hehehe. Saya? Air matanya masih bisa di simpan, bingung sepertinya ada kepingan puzzle yang belum lengkap di akhir cerita sih. Makasih ya Kompasiana Jogja. Nobarnya seru abisss dan banyak yang mewek berjamaah. Â Ditunggu nobar berikutnya. Sebelum pulang kami nge-mie ayam dulu ya, karena lapar dan mengeluarkan air mata juga perlu energi kan? Hehehehe