Hai! Saya Dian. Saya merupakan bagian dari sebuah kelompok jalan-jalan bernama "Awesome Travelmates". Pada beberapa perjalanan bersama, moto yang kami bawa adalah terus berjalan.Â
Sederhana sekali ya. Kesederhanaan yang dapat membawa kami melalui masa-masa sulit perjalanan, ketika merasa ragu untuk maju dan merasa sayang untuk kembali. Salah satunya adalah pengalaman jalan-jalan yang satu ini.
Tahun 2016, kami membuat waktu terus berjalan menuju tempat wisata di Banyuwangi, Jawa Timur. Yap, Banyuwangi memang terkenal dengan Taman Nasional Baluran, sebagai salah satu ikon wisata Indonesia.Â
Namun, ada dua lagi saudaranya yang gak begitu disorot oleh warganet, yaitu Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Menu Betiri. Yang namanya taman dengan skala nasional, kebayang yah, luasnya kaya apa tau. Kita akan selalu saja mendapat kejutan di dalamnya. Nah, salah satu harta karun terindah di sana adalah Teluk Hijau, destinasi untuk kaki menginjak dan hati berpijak. Berlokasi di dalam Taman Nasional Menu Betiri, di Desa Sarongan, sekitar 90 kilometer dari kota Banyuwangi.
Sebagai warga Jabodetabek yang manis manja ini dan ga bisa lepas dari kereta, alternatif murah dan terjangkau adalah dengan kereta api tujuan Surabaya, yang bisa dipesan melalui aplikasi Pegipegi. Sebenarnya, ada stasiun kereta di Banyuwangi, sehingga kalian bisa melanjutkan perjalanan kereta dari Surabaya.Â
Hanya saja, karena kami berniat muter-muter dulu di Surabaya dan sekitarnya, kami lanjut patungan untuk sewa mobil muter-muter dulu dan tiba di Banyuwangi. Bermalam di kantor warga di sekitar Taman Nasional Menu Betiri, adalah opsi yang kami pilih waktu itu. Kenapa? Karena numpang itu lebih murah meriah.
Keesokan harinya kami memulai petualangan. Kami berangkat dengan membawa bekal minum dan kue seadanya. Jarak dari kantor tumpangan ke Teluk Hijau gak jauh, hanya 2 km saja. 2 km jalan kaki naik turun gunung.Â
Teluk Hijau bukan destinasi ekstrim tapi juga bukan destinasi yang mudah pada saat itu. Cocoklah untuk kami-kami yang ada di level menengah ke bawah berdasarkan tingkat kecekatan berpetualang (baca: yang engap-engapan kalau sedikit mendaki, yang ada takut-takutnya kepeleset batu, yang minta istirahat setiap 10-15 menit sekali, yah intinya orang-orang yang kebanyakan iklan dan drama dalam perjalanannya seperti gampang terdistrak oleh keindahan alam).Â
Meskipun tidak terlalu ekstrim, namun diperlukan kekuatan fisik yang memadai, mental yang teguh tidak mengeluh, dan bawa juga kawan jalan yang menyenangkan, untuk bisa tiba di sana dengan suka cita.
Perjalalanan diawali dengan melewati rerumputan menuju tepi pantai. Kiri kanan kami masih sawah hijau terhampar, dengan pohon kelapa di jalan setapak kami. Masih ada beberapa rumah penduduk di situ, di tepi pantai dekat rumah mereka terparkir kapan-kapal pengangkut penumpang. Kami membelah jalanan berumput hingga tiba di tanah dengan rumput yang hijau kering, jarang-jarang, mencoba eksis di antara tanah berpasir.
Rasanya, akan agak susah kalau mau membawa balita dan lansia jalan-jalan ke sini, kecuali memang yang udah advanced banget. Kami yang masih muda aja berasa jompo. Bagaimanapun, trekking di sini disarankan banget buat yang memang suka jalan-jalan! Setibanya di atas, kami bisa lihat Teluk Damai di bawah sana. Dataran pantainya hanya sedikit, ombak langsung pecah menabrak karang dan tebing, buih-buihnya terlihat menawan.
Kami tidak sabar untuk turun ke bawah, ke sisi di mana katanya Teluk Hijau berada.
Kami meneliti beragam bentuk batu yang unik, bermain lempar batu ke laut, dan mendengarkan kisah tentang asal mula Pantai Batu yang disebabkan oleh terjangan ombak besar. Nah, bertetanggaan dengan Pantai Batu, di sanalah Teluk Hijau.
Menyeruaklah kami keluar dari hutan kecil. Dengan adanya hal-hal lain yang terjadi selama perjalanan, kami tiba di Teluk Hijau dalam waktu hampir 2 jam  kemudian. Hahaha!Â
Dan sungguh, keindahan terpampang jelas di hadapan dan di pelupuk mata. Dikelilingi oleh karang-karang tinggi, tibalah kami sisi timur Teluk Hijau. Sebuah papan yang diletakkan manusia sebelum kami menjadi penandanya. Selain memberi tahu tentang koordinat posisi yang akurat, papan itu juga memberi tahu untuk tidak meninggalkan apapun selain jejak kaki dan tidak mengambil apapun selain gambar.
Hal ternikmat kedua yang bisa dilakukan di sana adalah berendam di bawah air terjun air tawar, sambil bercanda tawa dengan kawan yang bermain ayunan di tepian kolamnya.Â
Kawan-kawan lain segera berhamburan ke tempat yang menarik buat mereka masing-masing. Ada yang duduk di atas batu karang memandang laut kejauhan, ada yang segera ngampar di atas pasir dan bersender di batu karang kecil, ada yang segera membuka tas dan mengambil bekal (karena tidak ada tukang penjual jajanan di sana). Â
Hening hingga kemudian tersadar.
Pulangnya ke penginapan gimana? Yha, jalan lagi lah! Nanjak lagi, turun lagi, oh lutut, tabah yah!*
Ngomong-ngomong, kalau kamu suka versi petualangan yang lain, selain cobain trekking di sini, bisa juga naik perahu lewat jalur laut. Tinggal pilih aja, mau banjir keringat selama jalan atau basah-basahan kena ombak  selama di atas kapal ya! Apapun jalan yang kamu tempuh, cus aja dulu!Â
Apalagi sebentar lagi libur akhir tahun dan sekalian libur tahun baru. Kalau kamu butuh referensi destinasi wisata lain yang jarang dikunjungi, coba deh kunjungi dan baca-baca artikelnya di www.pegipegi.com/travel. Yuk, pegipegi, yuk!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H