Dalam kehidupan sehari-hari, hak senantiasa berdampingan dengan kewajiban. Orang-orang juga tentu mengharapkan agar keduanya bisa seimbang. Hak dan kewajiban juga selalu memberikan pengaruh satu sama lain. Jika hak dan kewajiban tidak seimbang, maka bisa timbulnya benturan kepentingan dari golongan yang ada di masyarakat. Benturan itu bisa menimbulkan keuntungan bagi satu pihak dan kerugian bagi pihak lainnya.
Oleh karena itu, penting bagi setiap orang untuk bisa menghormati, menghargai, dan mengetahui hak atau kewajiban dirinya dan orang lain agar nantinya setiap orang bisa bertindak serta berperilaku sesuai dengan aturan dan ketetapan yang telah ditetapkan. Dengan begitu, tidak akan ada lagi perilaku semena-mena terhadap orang lain. “Ini yang diharapkan oleh semua orang, bukan?”
Sayangnya, kita sendiri masih sering menemui individu atau kelompok yang masih tidak mampu untuk melaksanakan aturan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban. Pihak-pihak itu justru dengan sengaja melanggar aturan-aturan yang telah dibuat demi meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Akibatnya, timbul konflik yang berujung pada perampasan hak-hak milik orang lain. Jika dikaitkan dengan kejadian masa lalu, narasi ini menggambarkan salah satu kasus yang sangat fenomenal yaitu kasus PT. Toba Pulp Lestari atau PT. Inti Indorayon Utama.
PT tersebut pada saat itu terbukti melakukan pencemaran lingkungan dan menimbulkan kekacauan pada masyarakat di sekitarnya. “Hal ini jelas-jelas melanggar aturan, bukan? Lantas bagaimana ya, pandangan hukum perdata mengenai fenomena ini?”
Kasus PT. TPL
PT. TPL sebenarnya adalah nama baru dari sebuah perusahaan penggilingan kertas yang berlokasi di Sumatera Utara. Perusahaan ini sebelumnya bernama PT. Inti Indorayon Utama. Beroperasi pada akhir tahun 1980-an, PT. Inti Indorayon Utama akhirnya ditutup berdasarkan rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup pada 1999.
“Kenapa bisa ditutup?” Ditutupnya perusahaan ini adalah karena terbukti menyebabkan pencemaran lingkungan. Akan tetapi, peristiwa mengagetkan malah terjadi saat perusahaan ini kembali dibuka pada Maret 2002 berdasarkan rekomendasi dari Wakil Presiden Republik Indonesia yang saat itu dijabat oleh Megawati Soekarno Putri. Nama baru, yaitu PT. Toba Pulp Lestari pun akhirnya digunakan.
Selama beroperasi, masyarakat sekitar menilai bahwa PT. TPL telah menjadikan hidup mereka lebih sulit. Masyarakat umumnya meresahkan kegiatan PT. TPL yang mencemari lingkungan. Tetapi, permasalahannya sekarang justru jauh lebih ribet. Kegiatan operasional yang dilakukan PT. TPL terbukti menurunkan kualitas lingkungan.
Turunnya kualitas lingkungan bahkan berdampak pada memburuknya kesehatan masyarakat sekitar. Limbah yang dihasilkan terbukti menjadi penyebab maraknya penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) pada saat itu.
Tidak hanya itu, dampak lain yang dirasakan adalah menurunnya kualitas panen padi. Bayangkan saja, saat itu bulir-bulir padi hasil panen warga tidak berisi, alias kosong.