Konon alokasi pupuk bersubsidi sudah rilis, kawan-kawan diujung terjauh pertanian (kecamatan), sudah dapat informasi berapa kuota pupuk subsidi yang akan direalisasikan. Dari data yang diperoleh ternyata alokasi kecamatan untuk pupuk subsidi baik Urea maupun NPK jauh dibawah usulan yang  di SK kan Bupati.
Kemampuan keuangan pusat dan prioritas daerah produksi padi menjadi salah satu pertimbangan, kenapa kebijakan angka alokasi yang dirilis harus begitu. Konon Masih dihitung berapa kebutuhan pupuk ideal dengan luas lahan dan potensi tanam, sehingga dapat diproyeksi berapa dana yang diperlukan. Â Baru-baru tadi rilis angka 14 Triliun dari APBN sebagai solusi suntikaan dana produksi pupuk subsidi.
Memang banyak tempat yang sesuai mekanisme pengusulan sesuai tahapan penyusunan erdkk pupuk bersubsidi. Â Karena data penerima pupuk bersubsidi mengacu pada data petani yang terdaftar di Simluhtan, maka data simluhtanlah yang menjadi dasar awal seorang petani mendapatkan pupuk bersubsidi. Status petani di data simluhtan bervariasi ada yang pemilik saja, penggarap saja, pemilik penggarap dan juga buruh.
Tak bisa dipungkiri masih banyak kelompok tani belum sebagai kelompok hamparan, umumnya dibentuk berdasarkan domisili, misal berdasarkan dusun, RT, RW, dsb. Baik kelompok tani hamparan maupun domisili masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Â Andai kelompok tani adalah kelompok tani hamparan tentu melakukan penyusunan rencana budidaya, penerapan teknologi, bahkan sampai evaluasi lebih mudah dilakukan, karena lahan sawahnya satu hamparan.
Begitu pula dalam melakukan proyeksi misal di satu kelompok tani A, luas sawah 25 Ha, jumlah anggota 30 orang. Â Tentu akan lebih mudah membuat perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dengan catatan kelompok tani tersebut aktif. Berapa keperluan pupuk subsidi dapat dihitung berdasarkan rekomendasi usulan Urea dan NPK per kecamatan.
Ditulisan ini saya coba untuk sedikit mengulas beberapa kondisi lapangan yang jadi tantangan dalam penyusunan usulan pupuk bersubsdi, antara lain ada oknum petani khawatir bila memasukan lahan sawah sesuai yang dimilikinya, khawatir lahan itu kena pajak, karena data yang disampaikan tidak valid akhirnya usulan pupuknya pun berdasarkan data lahan tidak valid
Usulan yang disampaikan merupakan usulan akumulasi, karna si oknum tidak hanya tanam padi, tapi juga tanam sayur dan karet, sedangkan tanaman sayur selain cabe dan bawang, dan juga tanaman Perkebunan selain kopi dan tebu tidak disubsidi, akhirnya pupuknya dimasukan ke usulan pupuk subsidi sawah, akhirnya data lahan pun tidak valid
Ada oknum petani yang punya lahan lebih 2 Ha, misal 4 Ha, supaya semua lahan dapat pupuk subsidi lahan itu di bagi ke anggota lain yang di daftarkan juga sebagai anggota poktan. Ada juga oknum petani dengan status ASN, TNI, Polri juga mengajukan permohonan pupuk subsidi, karna walau subsidi si petani juga beli (tidak minta). Konon ada kios penyalur yang punya kemampuan modal, terlebih dahulu menebus semua usulan kelompok tani yang menjadi wewenangnya, sedangkan yang tidak punya modal menunggu terkumpulnya uang dari petani baru melakukan penebusan
Di sisi lain tak jarang usulan pupuk subsidi yang akan direalisasi belum bisa ditebus petani, karena tidak memiliki dana yang cukup atau karna sawahnya sering terendam air sehingga sia-sia bila dipupuk. Â Kalau tidak ditebus jatah petani dilempar ke kelompok/petani yang memerlukan.
Tak jarang juga terjadi penebusan secara serentak, dan masih banyak petani yang melakukan penebusan pada saat akan memupuk, bahkan pada saat kios penyalur akan melakukan tutup buku di akhir tahun. Â Beberapa oknum petani juga mengeluhkan tentang warna pupuk subsidi dan tampilan fisik yang menurut sebagian mereka beda dari tahun sebelumnya
Di satu sisi sinkronisasi data erdkk pupuk subsidi dan simluhtan itu memudahkan dalam pengusulan pupuk bersubsidi, tapi disisi lain tak jarang terjadi, mestinya data erdkk menyesuaikan data simluhtan, tapi karena kekhawatiran petani tidak dapat pupuk bersubsidi, akahirnya data simluhtan menyesuaikan data erdkk.Â
Dilematis memang. Apalagi bagi daerah-daerah yang rawan bencana seperti banjir, kadang bencana tersebut menyebabkan mereka harus 1,2 bahkan 3 kali tanam, sedangkan bila mengacu luas sawah mereka jelas alokasi pupuk bersubsidinya tidak cukup.
Data lahan dan data pemilik sawah adalah data hidup, yang sering pergerakannya dinamis karena beralih fungsi baik untuk usaha produktif maupun disebabkan bencana, tak jarang juga kepemilikannyapun dinamis, sehingga data ini harus terus update real time.Â
Metode pengukuran lahan khususnya sawah terus menerus dilakukan pembaharuan, melalui mekanisme PTSL, e reporting, ukur manual, dan pengukuran lain berbasis satelit. Â Menuju data lahan sawah yang valid terus diikhtiarkan. Â Keterpaduan luas sawah di suatu desa dengan luas wilayah di desa tersebut kadang masih menjadi tantangan.
Lahan dan pemiliknya dilingkungan pemerintahan terkecil dalam bentuk desa, menjadi tanggung jawab pemerintahan desa dalam penyajian keakuratannya, bahkan lalu lintasnya pun hendaknya terdokumentasi dan teradministrasi dengan baik di tingkat desa. Â
Namun masih terjadi bahwa pertanian termasuk sawah, kebun dan ternak dijadikan wewenang PPL, sehingga PPL lah yang mesti menyajikan data akurat tentang luas dan jumlahnya. Â
Padahal PPL adalah SDM yang mendapatkan tugas melakukan pendampingan dan pembinaan di desa serta bermitra dengan pemerintahan desa. Â Sedangkan yang memiliki anggaran adalah pemerintahan desa. Â Akan lebih bijak bila desa dengan kuasa anggaran yang dimilikinya mengalokasikan dana operasional untuk SDM yang melakukan pengukuran data lahan sawah secara valid.
Manfaat tersajinya data lahan yang valid memudahkan dalam Menyusun kebijakan, program, dan anggaran bisa juga menjadi salah satu Solusi efektifitas dan ketepatan sasaran. Namun melakukan hal ini tidak lah mudah, merubah data lahan akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi baik terhadap orang maupun lembaga. Â
Namun bila spiritnya sama untuk memajukan Pembangunan pertanian yang berkeadilan dan berkelanjutan, tentu ego pribadi dan ego sektoral dapat dipinggirkan. Namun pertanyaannya apakah ini Solusi yang tepat? Kalaupun ini Solusi apakah akan diambil? Mengingat kita dapat PR produksi padi yang meningkat dan produksi beras yang mencukupi kebutuhan atau kalua bisa swasembada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H