Mohon tunggu...
Oedin Only
Oedin Only Mohon Tunggu... Administrasi - Pemberdaya dan Petani

Berkeseharian dengan Desa dan Petani | Berutinitas dalam Pemberdayaan Penyuluh, Pelaku Utama dan Pelaku Usaha | Menyenangi Opini, Analisis dan Literasi | Ingin Berfocus Sebagai Penggiat Analisis Politik Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Berkelas Global | Juara I Lomba Blog KPK 2012

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Istri Saya, Guru Terbaik Afiqah tentang Percaya

28 November 2020   04:31 Diperbarui: 28 November 2020   04:32 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memiliki buah hati yang normal secara fisik dan psikis adalah harapan banyak orang tua, termasuk kami.  Usia anak pertama kami menjelang tiga setengah tahun.  Afiqah namanya.  Awalnya kami tak terlalu khawatir, melihat pertumbuhan dan perkembangan anak kami yang normal.  Tapi risau itu mulai muncul, ketika Afiqah terlihat sering asyik sendiri dan tak pernah mau menoleh ketika dipanggil, bahkan tak ada satu katapun yang berhasil dia ucapkan dengan benar dan jelas.

Beberapa kali berinteraksi dengan keluarga dan tetangga, kami sering disodorkan pertanyaan apakah Afiqah sudah bisa bicara ? Kok asyik sendiri? Sering pertanyaan itu membuat kami gusar dan untuk membesarkan hati, kamipun menjawab bahwa Afiqah masih berproses.  Mendengar intonasi dan mimik yang bertanya, kami membaca ada kesan kurang nyaman dan penghakiman.

Afiqah sering kami beri telur, roti, cokelat sebagai asupan gizinya dan kami biarkan entah nonton TV atau menggunakan gadget sendiri.  Untuk gadget dia jago sekali entah membuka handphone, menelpon, maupun mengakses you tube menonton tayangan kartun kegemarannya. Ada rasa senang melihat keterampilan Afiqah menggunakan gadget, tapi risau itu sering hadir ketika melihat dia asyik sendiri dan tak hirau lingkungan sekitar.

Sebagai suami, saya tau istri saya sangat sedih.  Apalagi ada saran keluarga yang bernada memaksa dan mengharap lebih supaya Afiqah segera diupayakan terapi.  Berkali-kali istri saya mengeluhkan tentang respon keluarga dan tetangga, yang alih-alih memberi support, justru terkesan memojokkan, menyalahkan dan memvonis anak kami tak normal.

Istri saya sering bicara kepada anak saya, "Nak kamu normal, kamu pasti bisa bicara, mama akan terus berupaya hingga hal itu terwujud." Bahkan dalam sekian banyak do'a setelah sholatnya, tak jarang saya mendengar keluh kesah dan lirih penuh harap, pinta seorang ibu kepada Rabbnya agar dikuatkan dan anak kami dimudahkan untuk bicara.

Istri mengajak saya memeriksakan anak kami ke dokter spesialis anak di bagian tumbuh kembang Rumah Sakit di kota ini.  Mengandalkan kartu BPJS kami ikut antri bersama orang tua lain yang membawa anak mereka dengan berbagai keluhan.  Kami lihat dokter menguji pendengaran anak kami dengan membunyikan lonceng, alih-alih menoleh ke sumber bunyi, Afiqah asyik sendiri.  

Setelah itu dokter menyodorkan mainan berupa lingkaran warna warni agar disusun berutan pada tiang yang disediakan, Afiqah cuek dan mengabaikan perintah. Ibu dokter menyimpulkan ada dugaan Speak Delay dan beliau merekomendasikan kami untuk memeriksa indera pendengaran Afiqah ke Rumah Sakit luar kota.

Dengan mengendarai motor menempuh perjalanan 3 jam, kami membawa Afiqah.  Dokter bagian THT menyimpulkan bahwa indera pendengaran Afiqah tak bermasalah, dia hanya tidak merespon bunyi dan lebih dominan sibuk sendiri.  Kami bergumam, bahwa simpulan dokter anak tentang Speak Delay adalah benar.

Waktu ngobrol dengan teman dikantor, saya bertanya kepada mereka apakah ada yang tau terapi anak telat bicara.  Ada teman yang ternyata mengalami hal serupa, dan menyarankan agar kami membawa Afiqah terapi Psikiater yang letaknya di luar kota. Jaraknya 50 Km dan dapat ditempuh 1,5 jam perjalanan naik motor. Setelah berdiskusi akhirnya kami putuskan membawa Afiqah ke sana.

Sering saya lihat istri saya terkantuk-kantuk diperjalanan, tak jarang dia tidur diserambi tempat terapi karena kecapean, sementara di dalam ruangan tak jarang terdengar tangisan Afiqah yang sedang dimotivasi dan diterapi agar  mengikuti arahan dan instruksi terapis. Setelah terapi biasanya Afiqah kecapean dan tidur selama perjalanan pulang. Tak peduli panas, tak peduli hujan, setiap minggu selama satu setengah tahun kami membawa Afiqah

Seorang tetangga menyampaikan informasi bahwa ada tukang pijat yang pernah menangani pasien telat bicara, beliau merekomendasikan kepada kami, dengan optimis istri saya merespon itu dan kami membawa Afiqah ke sana untuk dipijit. Hasil terapi dua tahun alhamdulillah mulai menunjukkan hasil.  Afiqah yang awalnya enggan dan cuek ketika diajak komunikasi mulai mau menatap.  Bahkan mulai menyebut Abi, namun sikap cuek dan asyik menyendirinya masih dominan.

Kondisi Afiqah yang tidak seperti kebanyakan anak seusianya, mendorong istri saya menyarankan pilihan tak mudah.  Membawa Afiqah terapi di RS Hermina Jakarta Timur.  Istri saya menyarankan bahwa kami perlu opini yang lain berdasarkan pandangan ahli anak yang sering menangani kasus serupa.  Menurutnya, harus dilakukan ikhtiar optimal dan terus mengharap pertolongan Allah SWT.  Pilihan itu akhirnya kami ambil, 6 bulan lamanya Afiqah dan istri saya tinggal di tempat mertua. 2 minggu sekali istri saya membawa Afiqah ke Terapi Tumbuh Kembang RS Hermina.

Pada konsultasi awal, terkuak faktor yang turut mempengaruhi kondisi Afiqah, yaitu asupan telur, roti dan coklat.  Tiga makanan ini disarankan untuk sementara tidak dikonsumsi selama proses terapi berlangsung.  Padahal Afiqah sangat doyan dan lahap dengan makanan itu.  Dokter menyarankan agar banyak mengkonsumsi sayur dan ikan. Berdasarkan hasil wawancara dan tindakan yang dilakukan , Afiqah positif disimpulkan Speak Delay dan mengalami gejala Authis. Istri saya sangat terpukul mendengar itu, tapi bersedih tak akan mendatangkan kebaikan, saya berusaha menguatkannya, dan dia sepakat kondisi anak kami harus diperjuangkan.  Walau lelah, harus tetap gigih, ikhlas dan sabar demi masa depan anak kami.

Karena kondisi Jakarta yang lalu lintasnya padat dan macet, sangat beresiko bila membawa Afiqah naik motor untuk terapi.  Akhirnya istri saya memilih naik angkot 2 kali, kadang-kadang naik grab atau go car.  Sejak pagi  biasanya ratusan pasien dan keluarganya antri menunggu  di bagian pendaftaran.  Agar dapat nomor antrian yang pendek, istri saya berangkat sendiri pagi-pagi, kadang harus sarapan seadanya, tak jarang juga bila telat sedikit harus antri 2 jam.  Jadwal terapi biasanya siang.  Entah kenapa Afiqah begitu sensitif dengan bunyi asing seperti bunyi lift, tak jarang dia histeris dan meronta-ronta menolak memasukinya.  Untuk menenangkan, istri saya biasanya menggendong Afiqah menuju ruangan Terapi.

Karna harus bekerja di sini (Kalimantan), saya tak memungkinkan menemani mereka.  Informasi tentang perkembangan Afiqah  dan kabar lainnya, rutin disampaikan istri saya, entah lewat telpon ataupun pesan WA.   Istri saya sering cerita, tentang kondisi teman-teman Afiqah saat terapi, mayoritas mereka mengalami autis, ada yang hyperaktif dan sulit dikendalikan, ada yang wajahnya sayu dan tak jarang senyum senyum sendiri, ada yang histeris, teriak-teriak ketika akan diterapi. Istri saya berujar lirih,"Bi..., anak kita lebih baik dari mereka, do'akan yang terbaik buat anak kita Afiqah".  Mendengar itu dada saya bergemuruh, dan kantong mata saya terasa dipenuhi air yang mulai meleleh perlahan.

Kenalan mertua saya menyarankan selain terapi tumbuh kembang, sebaiknya Afiqah juga dibawa terapi akupuntur untuk mengaktifkan syaraf-syaraf di kepala.  Konon beberapa pasien seperti Afiqah bisa sembuh.  Tak banyak pertimbangan pilihan itupun dilakukan.  Istri saya juga membawa Afiqah terapi akupuntur.  Tak jarang istri saya menyeka air matanya, menguatkan hati.  Melihat Afiqah yang kepalanya ditusuk dengan jarum akupuntur, dia berontak dan meronta, menangis sejadi-jadinya sebagai protes  tak mau diperlakukan seperti itu.  Tak jarang juga istri saya harus berhemat, karna harus mengalokasikan dana untuk membeli suplemen perangsang kecerdasan otak anak yang harganya tak murah, bahkan ada yang mencapai dua jutaan.

Pengorbanan dan ragam upaya yang kami lakukan, khususnya istri saya alhamdulillah membuahkan hasil.  Kemampuan motorik Afiqah meningkat, dia sudah mampu menjalankan instruksi dari terapis, mau menoleh dan merespon ketika dipanggil, bahkan perbendaharaan katanya semakin bertambah.  Sebagai orang tua kami sangat senang.  Setelah berkonsultasi dengan dokter dan terapis, Afiqah diizinkan untuk mengakhiri terapi. Saya mengajukan cuti untuk menjemput Afiqah dan istri saya.

Karakter positif thinking, tak mudah berputus asa, percaya pada diri sendiri, melakukan upaya yang terbaik dan maksimal, serta yakin dengan pertolongan Allah diajarkan istri saya untuk Afiqah dan alhamdulillah membuahkan hasil, disaat tak sedikit yang mengalami kasus serupa, justru memilih pasrah, mengeluh dan menyalahkan keadaan. Menurut istri saya, tak ada yang mustahil terjadi, bila Allah belum memustahilkannya, teruslah berupaya dan berdo'a, pasti ada solusi terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun