Kondisi Afiqah yang tidak seperti kebanyakan anak seusianya, mendorong istri saya menyarankan pilihan tak mudah. Â Membawa Afiqah terapi di RS Hermina Jakarta Timur. Â Istri saya menyarankan bahwa kami perlu opini yang lain berdasarkan pandangan ahli anak yang sering menangani kasus serupa. Â Menurutnya, harus dilakukan ikhtiar optimal dan terus mengharap pertolongan Allah SWT. Â Pilihan itu akhirnya kami ambil, 6 bulan lamanya Afiqah dan istri saya tinggal di tempat mertua. 2 minggu sekali istri saya membawa Afiqah ke Terapi Tumbuh Kembang RS Hermina.
Pada konsultasi awal, terkuak faktor yang turut mempengaruhi kondisi Afiqah, yaitu asupan telur, roti dan coklat. Â Tiga makanan ini disarankan untuk sementara tidak dikonsumsi selama proses terapi berlangsung. Â Padahal Afiqah sangat doyan dan lahap dengan makanan itu. Â Dokter menyarankan agar banyak mengkonsumsi sayur dan ikan. Berdasarkan hasil wawancara dan tindakan yang dilakukan , Afiqah positif disimpulkan Speak Delay dan mengalami gejala Authis. Istri saya sangat terpukul mendengar itu, tapi bersedih tak akan mendatangkan kebaikan, saya berusaha menguatkannya, dan dia sepakat kondisi anak kami harus diperjuangkan. Â Walau lelah, harus tetap gigih, ikhlas dan sabar demi masa depan anak kami.
Karena kondisi Jakarta yang lalu lintasnya padat dan macet, sangat beresiko bila membawa Afiqah naik motor untuk terapi.  Akhirnya istri saya memilih naik angkot 2 kali, kadang-kadang naik grab atau go car.  Sejak pagi  biasanya ratusan pasien dan keluarganya antri menunggu  di bagian pendaftaran.  Agar dapat nomor antrian yang pendek, istri saya berangkat sendiri pagi-pagi, kadang harus sarapan seadanya, tak jarang juga bila telat sedikit harus antri 2 jam.  Jadwal terapi biasanya siang.  Entah kenapa Afiqah begitu sensitif dengan bunyi asing seperti bunyi lift, tak jarang dia histeris dan meronta-ronta menolak memasukinya.  Untuk menenangkan, istri saya biasanya menggendong Afiqah menuju ruangan Terapi.
Karna harus bekerja di sini (Kalimantan), saya tak memungkinkan menemani mereka.  Informasi tentang perkembangan Afiqah  dan kabar lainnya, rutin disampaikan istri saya, entah lewat telpon ataupun pesan WA.  Istri saya sering cerita, tentang kondisi teman-teman Afiqah saat terapi, mayoritas mereka mengalami autis, ada yang hyperaktif dan sulit dikendalikan, ada yang wajahnya sayu dan tak jarang senyum senyum sendiri, ada yang histeris, teriak-teriak ketika akan diterapi. Istri saya berujar lirih,"Bi..., anak kita lebih baik dari mereka, do'akan yang terbaik buat anak kita Afiqah".  Mendengar itu dada saya bergemuruh, dan kantong mata saya terasa dipenuhi air yang mulai meleleh perlahan.
Kenalan mertua saya menyarankan selain terapi tumbuh kembang, sebaiknya Afiqah juga dibawa terapi akupuntur untuk mengaktifkan syaraf-syaraf di kepala.  Konon beberapa pasien seperti Afiqah bisa sembuh.  Tak banyak pertimbangan pilihan itupun dilakukan.  Istri saya juga membawa Afiqah terapi akupuntur.  Tak jarang istri saya menyeka air matanya, menguatkan hati.  Melihat Afiqah yang kepalanya ditusuk dengan jarum akupuntur, dia berontak dan meronta, menangis sejadi-jadinya sebagai protes  tak mau diperlakukan seperti itu.  Tak jarang juga istri saya harus berhemat, karna harus mengalokasikan dana untuk membeli suplemen perangsang kecerdasan otak anak yang harganya tak murah, bahkan ada yang mencapai dua jutaan.
Pengorbanan dan ragam upaya yang kami lakukan, khususnya istri saya alhamdulillah membuahkan hasil. Â Kemampuan motorik Afiqah meningkat, dia sudah mampu menjalankan instruksi dari terapis, mau menoleh dan merespon ketika dipanggil, bahkan perbendaharaan katanya semakin bertambah. Â Sebagai orang tua kami sangat senang. Â Setelah berkonsultasi dengan dokter dan terapis, Afiqah diizinkan untuk mengakhiri terapi. Saya mengajukan cuti untuk menjemput Afiqah dan istri saya.
Karakter positif thinking, tak mudah berputus asa, percaya pada diri sendiri, melakukan upaya yang terbaik dan maksimal, serta yakin dengan pertolongan Allah diajarkan istri saya untuk Afiqah dan alhamdulillah membuahkan hasil, disaat tak sedikit yang mengalami kasus serupa, justru memilih pasrah, mengeluh dan menyalahkan keadaan. Menurut istri saya, tak ada yang mustahil terjadi, bila Allah belum memustahilkannya, teruslah berupaya dan berdo'a, pasti ada solusi terbaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H