Memiliki buah hati yang normal secara fisik dan psikis adalah harapan banyak orang tua, termasuk kami. Â Usia anak pertama kami menjelang tiga setengah tahun. Â Afiqah namanya. Â Awalnya kami tak terlalu khawatir, melihat pertumbuhan dan perkembangan anak kami yang normal. Â Tapi risau itu mulai muncul, ketika Afiqah terlihat sering asyik sendiri dan tak pernah mau menoleh ketika dipanggil, bahkan tak ada satu katapun yang berhasil dia ucapkan dengan benar dan jelas.
Beberapa kali berinteraksi dengan keluarga dan tetangga, kami sering disodorkan pertanyaan apakah Afiqah sudah bisa bicara ? Kok asyik sendiri? Sering pertanyaan itu membuat kami gusar dan untuk membesarkan hati, kamipun menjawab bahwa Afiqah masih berproses. Â Mendengar intonasi dan mimik yang bertanya, kami membaca ada kesan kurang nyaman dan penghakiman.
Afiqah sering kami beri telur, roti, cokelat sebagai asupan gizinya dan kami biarkan entah nonton TV atau menggunakan gadget sendiri. Â Untuk gadget dia jago sekali entah membuka handphone, menelpon, maupun mengakses you tube menonton tayangan kartun kegemarannya. Ada rasa senang melihat keterampilan Afiqah menggunakan gadget, tapi risau itu sering hadir ketika melihat dia asyik sendiri dan tak hirau lingkungan sekitar.
Sebagai suami, saya tau istri saya sangat sedih. Â Apalagi ada saran keluarga yang bernada memaksa dan mengharap lebih supaya Afiqah segera diupayakan terapi. Â Berkali-kali istri saya mengeluhkan tentang respon keluarga dan tetangga, yang alih-alih memberi support, justru terkesan memojokkan, menyalahkan dan memvonis anak kami tak normal.
Istri saya sering bicara kepada anak saya, "Nak kamu normal, kamu pasti bisa bicara, mama akan terus berupaya hingga hal itu terwujud." Bahkan dalam sekian banyak do'a setelah sholatnya, tak jarang saya mendengar keluh kesah dan lirih penuh harap, pinta seorang ibu kepada Rabbnya agar dikuatkan dan anak kami dimudahkan untuk bicara.
Istri mengajak saya memeriksakan anak kami ke dokter spesialis anak di bagian tumbuh kembang Rumah Sakit di kota ini. Â Mengandalkan kartu BPJS kami ikut antri bersama orang tua lain yang membawa anak mereka dengan berbagai keluhan. Â Kami lihat dokter menguji pendengaran anak kami dengan membunyikan lonceng, alih-alih menoleh ke sumber bunyi, Afiqah asyik sendiri. Â
Setelah itu dokter menyodorkan mainan berupa lingkaran warna warni agar disusun berutan pada tiang yang disediakan, Afiqah cuek dan mengabaikan perintah. Ibu dokter menyimpulkan ada dugaan Speak Delay dan beliau merekomendasikan kami untuk memeriksa indera pendengaran Afiqah ke Rumah Sakit luar kota.
Dengan mengendarai motor menempuh perjalanan 3 jam, kami membawa Afiqah. Â Dokter bagian THT menyimpulkan bahwa indera pendengaran Afiqah tak bermasalah, dia hanya tidak merespon bunyi dan lebih dominan sibuk sendiri. Â Kami bergumam, bahwa simpulan dokter anak tentang Speak Delay adalah benar.
Waktu ngobrol dengan teman dikantor, saya bertanya kepada mereka apakah ada yang tau terapi anak telat bicara. Â Ada teman yang ternyata mengalami hal serupa, dan menyarankan agar kami membawa Afiqah terapi Psikiater yang letaknya di luar kota. Jaraknya 50 Km dan dapat ditempuh 1,5 jam perjalanan naik motor. Setelah berdiskusi akhirnya kami putuskan membawa Afiqah ke sana.
Sering saya lihat istri saya terkantuk-kantuk diperjalanan, tak jarang dia tidur diserambi tempat terapi karena kecapean, sementara di dalam ruangan tak jarang terdengar tangisan Afiqah yang sedang dimotivasi dan diterapi agar  mengikuti arahan dan instruksi terapis. Setelah terapi biasanya Afiqah kecapean dan tidur selama perjalanan pulang. Tak peduli panas, tak peduli hujan, setiap minggu selama satu setengah tahun kami membawa Afiqah
Seorang tetangga menyampaikan informasi bahwa ada tukang pijat yang pernah menangani pasien telat bicara, beliau merekomendasikan kepada kami, dengan optimis istri saya merespon itu dan kami membawa Afiqah ke sana untuk dipijit. Hasil terapi dua tahun alhamdulillah mulai menunjukkan hasil. Â Afiqah yang awalnya enggan dan cuek ketika diajak komunikasi mulai mau menatap. Â Bahkan mulai menyebut Abi, namun sikap cuek dan asyik menyendirinya masih dominan.