Mohon tunggu...
Oedin Only
Oedin Only Mohon Tunggu... Administrasi - Pemberdaya dan Petani

Berkeseharian dengan Desa dan Petani | Berutinitas dalam Pemberdayaan Penyuluh, Pelaku Utama dan Pelaku Usaha | Menyenangi Opini, Analisis dan Literasi | Ingin Berfocus Sebagai Penggiat Analisis Politik Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Berkelas Global | Juara I Lomba Blog KPK 2012

Selanjutnya

Tutup

Money

Modernisasi Pertanian dan Tantangan Kelembagaan Petani

21 Mei 2019   14:07 Diperbarui: 21 Mei 2019   14:36 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
republika.co.id/alat mesin pertanian

Keberadaan penyuluh yang bernaung di daerah cenderung berbeda dalam manajemen dan perannya, hal ini rawan mengakibatkan peran penyuluh sulit sesuai tupoksi dalam rangka mendukung modernisasi pertanian, beda halnya bila penyuluh pertanian di bawah satu komando sentral sehingga optimalisasi penyuluh dapat dilakukan dengan mudah, serentak, dan tepat sasaran sesuai tahapan dan kondisi agroekosistem maupun pengembangan wilayah.  Selain itu pendampingan dan pengawalan usahatani juga melibatkan akademisi, peneliti dan babinsa.  Kondisi penyuluh yang heterogen dan beda penanganan antar daerah menyebabkan terjadi perbedaan penanganan dan layanan terhadap kelembagaan petani.

Relasi lembaga yang dimaksud mestinya dapat terwujud secara padu dan saling dukung.  Memang di beberapa tempat dana desa sudah dialokasikan untuk mendukung pertanian dan penguatan kelembagaan petani, namun masih banyak dijumpai bahwa dukungan itu masih sebatas pembangunan infrastruktur dan pembelian alsintan. Sedangkan dukungan untuk pemberdayaan dan peningkatan kapasitas sdm dan kelembagaan petani masih minim.  Padahal kualitas sdm dan lembaga yang meningkat sangat mendukung dalam mewujudkan modernisasi pertanian sebagaimana selama ini yang dicanangkan.

Di beberapa kasus, peran pemerintahan desa dalam membangun gudang alsintan untuk mendukung pertanian layak diapresiasi, hanya saja keberadaan bangunan tersebut justru banyak yang belum dioptimalkan oleh petani dan kelembagaannya diakibatkan ragam sebab, seperti pembangunan tidak melibatkan kelembagaan petani, letak bangunan yang jauh, maupun sebab lain yang dihasilkan akibat kurang harmonisnya hubungan kelembagaan petani dengan pemerintahan desa.  Selain itu optimalisasi badan usaha milik desa (bumdes) belum secara merata membangun kemitraan dengan kelembagaan petani dalam mengembangkan usahatani, menciptakan lapangan kerja di desa, termasuk sebagai sumber pemasukan mandiri untuk desa maupun kelembagaan petani.

Kegiatan berbudidaya juga terkendala akibat harga gabah yang tidak berpihak, sehingga beberapa petani enggan melakukan budidaya, karena ketika panen justru harga rendah, padahal biaya produksi tinggi, apalagi bila impor dilakukan secara masif dan tidak arif. Belum lagi mudahnya mendapatkan pupuk bersubsidi di kios-kios saprodi tanpa melalui kelembagaan petani menyebabkan petani enggan berlembaga, padahal mestinya pupuk bersubsidi hanya bisa diakses oleh petani yang tergabung dalam kelembagaan petani dan menyusun rencana definitif kebutuhan pupuk bersubsidi (RDKK) pupuk bersubsidi.

Distribusi merata alsintan sepintas bagus dan adil, namun belum siapnya kelembagaan petani justru menjadikan alsintan tersebut tidak efektif, rusak dan menimbulkan masalah dilapangan. Membebankan penyelesaian penyiapan kelembagaan petani semata tugas penyuluh pertanian, justru bukan solusi yang tepat, mengingat tugas itu merupakan pekerjaan rumah bersama instansi terkait yang berhubungan dengan pertanian dan kelembagaan petani.

Dari paparan di atas, penulis ingin menyampaikan bahwa penyiapan data base kelembagaan petani meliputi identitas petani, luas lahan, komoditas, keperluan saprodi, kebutuhan teknologi, waktu tanam, panen, sasaran tanam, panen, produksi, harga dan optimalisasi alsintan menjadi hal mendasar untuk menata kelembagaan petani agar siap, kuat, dan tangguh dalam merespon modernisasi pertanian di era revolusi industri 4.0 yang serba cepat dan tanpa batas.  Secara angka-angka data-data itu mudah didapat, namun secara kualitas belum sesuai harapan.  Sehingga secara berjenjang validitas pendataan ini mestilah data real dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan sebatas perkiraan yang tingkat ketidaksesuaiannya tinggi.

Setelah data kelembagaan petani valid, maka peningkatan kapasitas sdm dan kelembagaannya harus dioptimalkan, desa sebagai pemilik kelembagaan petani memiliki peran penting untuk merangkul kelembagaan petani supaya dapat selaras dengan pembangunan desa, bukan bergerak masing-masing yang justru kontraproduktif.  Bentuk peningkatan kapasitas sdm petani tersebut dapat dilakukan dengan program regenerasi kepemimpinan dan kemandirian petani melalui pelatihan, pendampingan, dalam ragam metode penyuluhan pertanian yang didukung dana desa.  Langkah ini harus berbasis kesadaran bersama pemerintahan desa dan kelembagaan petani untuk melaksanakannya, bila tidak upaya ini tidak akan tepat sasaran.

Untuk mendukung peningkatan kapasitas kelembagaan petani, pemerintah hendaknya menjadikan bantuan alsintan (modernisasi pertanian) sebagai reward atas kualitas kelembagaan petani, hal ini bertujuan agar pemberian bantuan tersebut tepat sasaran dan kelembagaan petani memiliki posisi tawar yang mantap. Bila hal ini tak terwujud dikhawatirkan bantuan alsintan justru tidak efektif, menjadi problem baru petani, termanfaatkan tapi tidak berkorelasi dengan kualitas kelembagaan, alsintan modern banyak tapi petani tetap melakukan usaha budidaya secara tradisional.

Andai memiliki dasar hukum yang kuat, bumdes di desa dapat diperankan sebagai lembaga pengelola alsintan.  Secara manajerial dan pendanaan desa mensupport sdm pengelolanya, merekrut dan membuka lapangan kerja untuk generasi muda, misal dengan sistem gaji, sedangkan pemanfaatan alsintan dananya dikelola bagian keuangan bumdes untuk pemeasukan desa dan kelembagaan petani.  Sedangkan kelembagaan petani sebagai penerima jasa dan pelaku usaha budidaya.  Selain itu, bumdes juga diperankan untuk mensuplai kebutuhan saprodi petani sekaligus penerima hasil panen petani. Melalui mekanisme tersebut alsintan dapat dipantau dengan mudah optimalisasi, pemanfaatan dan pemeliharaannya.

Melalui kelembagaannya petani menyusun Rencana Defenitif Kelompok (RDK) untuk budidaya dalam satu tahun, menyusun keperluan saprodi, target produksi, keperluan modal. Peneliti dan sumber informasi mensuplai informasi dan teknologi budidaya, penyuluh menjalankan tugas pengawalan dan pendampingan. Sedangkan hasil gabahnya dibeli oleh bumdes dan bumdes melakukan kegiatan pengelolaan pasca panen seperti mengeringkan, mengemas, dengan brand tertentu sebagai produk unggulan, yang dapat membangun kemitraan dengan berbagai pihak yang memerlukan suplai beras maupun produk olahannya, atau memerankan sebatas pengumpul produk dan distributor produk dari kelembagaan petani.

Lagi-lagi semua memerlukan political will untuk mewujudkannya. Semoga kita mampu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun