Terjadinya gesekan antar elemen bangsa akibat perbedaan cara pandang dalam mendudukan budaya dan mengaktualisasikan agama, sangat berpotensi menimbulkan perpecahan. Adanya penghormatan kaum budayaan terhadap agama dan tolerasi kaum agamawan terhadap nilai-nilai budaya menjadi perlu dalam merajut kebersamaan menuju cita-cita kebenaran yang indah.
Pandangan agama yang menyatakan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan dan terikat pada aturan-Nya jelas bukan perkara yang mesti diperdebatkan dan diotak atik, apalagi ini ranah keyakinan yang tentu sangat dilindungi konstitusi. Nilai-nilai luhur budaya yang memang tumbuh subur di negeri ini mestilah bisa disikapi arif dan dijadikan modal kekuatan membangun dan memecah belah.
Perbedaan pandangan tentu adalah hal yang lumrah, untuk mencari titik temu perlu dilakukan dialog yang konstruktif dan mengesampingkan ego serta logika pokoknya. Diharapkan melalui dialog demikian akan lahir kesepahaman atau setidaknya sikap untuk saling menghargai dan menghormati perbedaan.
Hanya saja, bila perbedaan pandangan bersifat prinsifil lalu kemudian dikomunikasikan dengan pihak luar yang justru tidak memahami atau sekedar menggunakan praduga, hal ini rawan menimbulkan perselisihan.
Fungsi dialog adalah dalam rangka mencari kebenaran, bukan kemudian mengabaikan kebenaran atau mengesampingkannya sehingga dihasilkan kesepakatan, yang kesepakatan itu justru menodai keyakinan. Bila dialog terjadi demikian, jelas ini tidak konstruktif dan rawan pertentangan.
Dalam kaitan, nilai-nilai umum berbangsa dan bernegara seperti pentingnya menumbuhkan nilai luhur semacam jujur, sabar, bersyukur, berkesetaraan, berbhineka, bergotong-royong, disiplin-bertanggung jawab, mandiri, saling mengasihi, santun, menerima hak, mengedepankan laku dan keterbukaan adalah perkara yang mesti dirawat dan dilestari dengan cara-cara yang bijak. Bukan justru menampilkan wajah ketidakadilan terhadap salah satu pihak yang akhirnya dianggap sebagai diskriminasi.
Praktek-praktek berbudaya yang bertentangan dengan keyakinan agama tertentu, memang rawan menimbulkan penolakan. Potensi ini mestilah diantisipasi sejak dini, mesti dilokalisir agar tidak diinterevensi kepentingan politik tertentu yang justru menumbuhkan bibit-bibit kebencian antar anak bangsa.
Peran tokoh agama, cendekiawan dan budayawan mestilah bijak dan adil. Selain itu media massa juga mesti tidak membawa tendensi apa-apa dan hanya berfocus pada penyajian kebenaran.
Kalaupun ada informasi yang belum jelas kebenarannya tentang suatu peristiwa terkait dengan agenda agama dan budaya, mestilah hendaknya dilakukan tabayyun, cross check, agar tidak terjadi informasi hoaks yang menimbulkan keresahan.
Diskusi yang menghadirkan debat-debat yang sehat, logika yang bernas, dan argumentasi yang mencerahkan mestilah lebih dikedepankan, bukan justru melestarikan budaya pokoknya yang jauh dari tradisi intelektual sebagai ciri-ciri manusia modern.
Tak hanya itu, peran tokoh baik agamawan, cendekiawan, maupun budayawan mestilah memberi edukasi yang seharusnya bagi mereka yang menjadi pengikut maupun yang mengidolakan tokoh-tokoh tersebut. Karena potensi perpecahan yang massif seringnya justru terjadi ditingkat bawah. Jangan sampai justru kalangan tokoh tersebut yang melakukan provokasi dan memimpin perlawanan.
Perilaku agama dan budaya lain yang menghormati dan menghargai peringatan hari besar agama islam misalnya, atau prilaku kelompok seperti FPI yang justru membantu dan terjun secara langsung atas nama kemanusiaan menolong korban lintas etnis, agama dan budaya gempa bumi dan tsunami yang baru saja terjadi, layak diapresiasi dan diberi dukungan. Tidak boleh ketidaksukaan kepada pikiran, pandangan dan sikap mereka justru digeneralisir sebagai musuh dan harus dihancurkan.
Tidak boleh ada klaim yang paling berjasa membangun negeri ini, setiap elemen bangsa berkewajiban memberikan yang terbaik untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa. Dan dialog merupakan sarana efektif untuk mengelola perbedaan dan menemukan solusi bersama untuk kemajuan bangsa.Â
Andai kebenaran yang dijadikan tujuan, maka hal-hal pahit akan dimaknai positif sebagai obat yang menyembuhkan ragam penyakit perbedaan, dan hal-hal manis akan dipersepsikan sebagai vitamin penyehat sekaligus perekat dan pemersatu bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H