Memperingati 60 tahun Widji Thukul digelar acara pembacaan 100 puisi karya-karya WT oleh berbagai komunitas dan para penyair ternama yang diselenggarakan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 17 September 2023. Acara dimulai dari pukul 10.00 Wib sd pukul 21.00 Wib yang terbagi menjadi 4 Batch.
Batch pertama diwarnai pembacaan puisi oleh kalangan pelajar dan simpatisan hingga pukul 12.00 Wib yang kemudian dilanjutkan pada pembacaan batch kedua dan ketiga oleh penyair ternama sejabodetabek seperti Nuyang Jaime, Edo Sugianto, Endin Sas, Teuku Osga, Intan Juwita, Umar Tadjuddin, Ical Vrigar, Dyah Kencono, Nina Ar, Megawati Nurdin, Femy Mokosolang serta beberapa penyair senior lainnya yang makin membuat semarak acara tersebut dengan pembacaan/apresiasi karya-karya WT pada penekanan puitisasi yang menyoroti serta menitik beratkan pada persoalan ketidak adilan hukum, ambiguitas sosial dan politisasi HAM hingga harus jeda inshoma pada pukul 18.00 Wib.
Sesi batch keempat yang sudah direncanakan oleh panitia penyelenggara sebagai puncak acara dari gelaran tersebut, disuguhkan penampilan teatrikal puisi Widji Thukul "Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa" oleh Arief Akbar Bsa mendapatkan tepuk tangan yang sangat meriah dari para penonton yang memang sudah menunggunya sejak Batch ketiga untuk menyaksikan garapan kemasan elementer teatrikalnya pada puisi "Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa" - AMUD2K2B.
Menyajikan elementer kebangkitan jasad terbuang dari persoalan "kebebasan bersuara" yang terpenjara pada dekade orde baru dikilasan peristiwa kerusuhan Mei 1998, Syafira dan Abdul Zaki cukup piawai menguasai laku adegan sebagai figur kebangkitan "lantang bersuara" melalui anatomi teatrikal mampu meyakinkan penonton untuk memahami situasi pada saat itu benar-benar mencekam dan menakutkan hingga slogan "hidup segan matipun tak mau" begitu terasa atmosfir pertunjukkannya.
Sosok Pinangki yang diperankan oleh Mia Meliana sebagai korban dari kerusuhan dan penculikan terlihat begitu mendramatisir melekat pada keaktorannya melalui jeritan dan tangisannya di atas panggung. Sedangkan Ainun Kanjeng sebagai elementasi penjaga hukum, nampak ambigu pada jubah yang dikenakannya. Kongkalikong, nepotisme dan feodalisme yang dipaparkan sang tokoh benar-benar sampai dan dimengerti oleh penonton jika hukum hanya simbolisasi permainan semata dan hanya bahan lelucon belaka. Kala itu sejarah mencatat rezim orde baru terlalu otoriter yang dianalogikan dengan sosok orang gila (orgil) tanpa kuasa bersuara kejujuran dan kebenaran yang dibungkus tipu muslihat atas nama hati nurani rakyat.
Secara garis besar gelaran acara 60 tahun mengenang Widji Thukul dengan menghadirkan serta melibatkan 100 pembaca puisi sejabodetabek terbilang sukses dan berhasil. Hal ini ditegaskan oleh panitia penyelenggara yang tak menyangka acara tersebut mendapat respon publik begitu besar dengan membludaknya peminat untuk mengisi dan mengapresiasi acara tersebut walaupun attensi penampil dibatasi dan sudah ditutup.
"Untuk ke depannya nanti, kami akan menggelar acara yang jauh lebih besar lagi mengingat bidang sastra adalah sarana yang tepat dalam bersuara tanpa pengekangan serta dalam rangka turut mengenalkan secara luas kesusatraan Indonesia dikalangan umum," ujar salah satu panitia yang tak mau disebutkan namanya.
Red - Radit Indragunawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H