Mohon tunggu...
Ahmad Sofyan
Ahmad Sofyan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Arsitek dan desainer web freelance yang suka nulis dan ngeblog. Mantan kolumnis majalah INTELIJEN.\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mesin Sosial Puasa (Yang Dilupakan)

22 Juli 2012   10:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:43 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_202043" align="alignleft" width="335" caption="ramadhan"][/caption] Islam lahir tidak untuk mengabsahkan realitas, tetapi untuk merubahnya. Turunnya wahyu justru berfungsi menggerakkan roda sejarah manusia, merevolusi cara berpikirnya (hidayah) dan membentuk tatanan kolektif yang baru (ummah). Sebagai kekuatan moral emansipatoris, kemunculan agama memang merupakan respon terhadap tatanan sosial yang korup dengan menyediakan solusi alternatif yang bersifat antitesis maupun dalam banyak hal sintesis serta akomodatif.

Kemampuan ummat untuk melihat kontradiksi sosial, ekonomi, dan politik, lalu bergerak merubah unsur-unsur ketidakadilan dalam realita sosial yang dilihatnya. Inilah kunci sukses spirit transformatif puasa.

Sejatinya, kualitas keberagamaan seseorang ditentukan oleh prestasi sosialnya. Kualitas kesholehan tidak hanya diperoleh melalui upaya pensucian diri, melainkan juga kepedulian terhadap penderitaan orang lain (Qs. Al- Maun (107) : 1-7).

Islam sebagai totalitas sistem mencakup berbagai aspek, ukhrowi sekaligus duniawi, spiritual sekaligus sosial. Puasa mengajak setiap individu melatih ruhani sekaligus peduli pada sesama. Zakat mengajak pembersihan harta sekaligus berbagi. Karena itu wajar, Allah mempertanyakan kualitas keimanan mereka yang enggan membela kepentingan kaum dhu'afa dan teraniaya (Qs An Nisa (4) : 75).

Tanggung jawab ummat yang mendesak hari ini ialah menghilangkan kontradiksi antara keshalehan individu dan keshalehan sosial. Menjembatani jurang antara Puasa sebagai ritus dengan Puasa sebagai metode sosial. Menyeimbangkan kesemarakan agama dengan penghayatan makna agama itu sendiri.

Tidak diragukan lagi bahwa kesemarakan beragama di Indonesia semakin hari semakin baik. Bahkan baru-baru ini pemerintah mencanangkan Indonesia menjadi kiblat mode muslim dunia. Tetapi pada saat yang sama, bangsa ini dijejali kesenjangan sosial, korupsi, skandal, frustasi sosial yang memberingaskan jiwa anak bangsa sehingga mudah terjadi anarki.

Padahal tolok ukur kualitas keislaman ialah kukuhnya keadilan. Semakin kecil kesenjangan, semakin adil masyarakat itu. Semakin adil suatu masyarakat, semakin Islami pula. Inilah pesan kunci Ramadhan sebagai mesin sejarah. Selama Ramadhan masih berupa ritual formalistik, dipastikan praktek beragama kita masih a-historis, tidak menyejarah.

Puasa, pertama-tama mengajak kita berperilaku zuhud dengan mengambil posisi berseberangan dengan kenikmatan yang awalnya lumrah dimanfaatkan. Zuhud adalah penolakan pandangan serba benda yang menjadi akar carut marut kehidupan, dan mengembalikannya bahwa kepemilikan mutlak hanyak milik Allah.

Nabi Syu'aib berhadapan dengan kaumnya yang memanipulasi takaran, pertama kali beliau menyeru dengan “Wahai kaumku, sembahlah Allah ! Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu kecuali Dia,” (Qs. Al-A'raf (7) :85). Perbaikan sistem ekonomi yang diawali dengan penjungkirbalikan kultur kapitalisme menjadi kesadaran Tauhid.

Secara sederhana, kultur kapitalisme difahami sebagai gaya hidup masyarakat yang mengidealkan dimensi material dan ekonomi sebagai orientasi hidup yang seluruh aspeknya diperlakukan sebagai komoditas untuk memperoleh profit.

Andai setiap muslim sukses memaknai zuhud, sehebat apapun kampanye dagang bertajuk diskon, obral, cuci gudang di bulan Ramadhan khususnya, itu tidak akan berhasil. Tetapi faktanya sangat ironis, dibulan ketika kita dilatih kezuhudan, yang terlihat justru nafsu berbelanja yang begitu membuncah. Anggaran belanja malah meningkat di bulan Suci ini.

Pesan kedua Puasa adalah mengajak kita untuk menilai kondisi obyektif diri dan masyarakat sehingga akan terbentuk peta kognisi yang bermuara pada gagasan gerak yang laik saji. Pada titik ini, setiap muslim akan menyadari bahwa kegiatan zikir dan ibadahnya harus aplikatif, harus porduktif dalam ruang dan waktu. Seperti yang dimisalkan oleh sufi Jalaludin Rumi, “Kita tidak bisa melihat angin, kecuali dari daun yang bergerak.” Abstraksi ruhani harus dikonkretkan dalam gerak sosial.

Ketinggian ibadah harus maujud dalam upaya membaurkan diri dalam persoalan ummat. Bukan menyendiri di mihrab-mihrab. Selalu berusaha menjadi solusi, seperti yang dikatakan Paolo Freire, “Jika Anda bukan bagian dari penyelesaian. Maka Anda adalah bagian dari persoalan.”

Solusi yang dicontohkan Al-Qur'an sekaligus pesan ketiga Ramadhan inilah yang diritualkan sebagai zakat fithrah. Zakat adalah simulasi lapangan, aplikasi pesan-pesan keadilan (al 'adalah), kesederajatan (al-musawa'), aman sentosa (al amana) secara obyektif di masyarakat. Dalam perspektif ini, Zakat adalah gerakan protes secara massif yang dapat menggangsir sistem yang telah rusak. Itulah realita penyelamatan sosial dalam ritual Puasa. Kita tidak bisa acuh dan mengelak dari aspek tersebut, karena demikianlah inti keberagamaan kita.

Akhirul kalam, Romo Mudji Sutrisno pernah mengatakan, “Saya kira kredibilitas agama akan ditentukan sekali oleh peran agama itu sendiri, apakah memihak pada yang lemah, memihak pada yang kecil.” Agama bukanlah candu seperti yang dituding Karl Marx. Bukan sekedar alat melenakan sejenak dari problematika kehidupan, menenangkan diri dari hiruk pikuk modernitas, atau sebaskom air untuk membeningkan hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun