[caption id="attachment_129846" align="aligncenter" width="300" caption="Ir. Soekarno"][/caption] Maujudnya Proklamasi Kemerdekaan tidak terlepas dari tampilnya sosok-sosok pemimpin bangsa yang memiliki kapasitas ideolog. Sejarah telah mencatat bahwa kita sempat dikaruniai pemimpin dengan kapasitas seorang ideolog seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir maupun M.H. Thamrin. Mereka tidak hanya merumuskan pandangan hidup bangsa, tetapi juga mampu menggerakkan seluruh rakyat kearah yang diinginkan.
Di usia Republik yang ke-66 tahun, kita mengalami kehidupan nasional yang carut-marut. Korupsi, skandal, ketergantungan pada asing, kemiskinan, dan rivalitas elit. Negara ini semakin mengarah pada liberalisasi, prinsip hidup yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pemimpin Ideolog
Dunia pernah menerima kehadiran pemimpin mumpuni di berbagai wilayah. Pemimpin yang bervisi, tegas dan komitmen tinggi pada cita-cita bangsa. Beberapa diantaranya disinggung dalam artikel ini.
Soeharto, diantara banyak kritik dan kecaman terhadapnya, saya berkeyakinan, beliau cukup memiliki kapasitas sebagai pemimpin sekaligus ideolog. Kita memiliki doktrin pembangunan yang dikenal dengan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang berhasil membawa Indonesia swasembaga pangan. Tahun 1984, merupakan puncak produktivitas pangan Indonesia. Yang semula tak kurang dari 2 juta ton pertahun, beras diimpor untuk memenuhi kebutuhan pangan, maka tahun 1984 telah bisa memenuhi kebutuhan sekitar 160 juta penduduk saat itu.
Dr. Mahathir Muhammad, Perdana Menteri Malaysia ke-4 ini mewarisi New Economic Policy (NEP) yang dirancang untuk meningkatkan posisi ekonomi bumiputeradalam kepemilikan perusahaan dan pendidikan. Dengan berakhirnya NEP pada tahun 1990, Mahathir menggariskan visi ekonominya. 1991, ia mengumumkan Vision 2020, di mana Malaysia ditargetkan menjadi negara maju dalam waktu 30 tahun, yang akan memerlukan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% persen per tahun. Saat krisis 1998, Mahathir berani menolak proposal IMF dan memberlakukan kurs tetap dollar terhadap ringgit. Kebijakan yang membuat negeri jiran lebih dulu selamat dari krisis dibanding Indonesia.
Muammar Khaddafi, sosok yang berani menentang kapitalisme. Pemikiran Khadafi yang terkenal adalah “Buku Hijau” (Kitabul Akhdlar/Green Book). The Green Book yang ia tulis sendiri adalah bentuk sosialisme Islam yang mendasari kebijakan nasionalisasi sektor ekonomi, perluasan lapangan kerja, peningkatan taraf hidup buruh, dan jaminan sosial untuk rakyat miskin.
[caption id="attachment_129844" align="alignleft" width="300" caption="Khaddafi"][/caption] Tahun 1973, seluruh perusahaan-perusahaan migas asing dinasionalisasi. Khaddafi pun berusaha menyatukan Libya dengan negara-negara Arab lainnya, tetapi gagal karena ia sosok yang kurang disukai oleh negara-negara Jazirah yang mayoritas tunduk pada kehendak Barat.
Khaddafi mengkritik keras demokrasi perwakilan dan partai politik. Menurutnya, parlemen sebenarnya misrepresentasi dari rakyat, jika makna demokrasi berarti kekuasaan rakyat dan bukan kewenangan bertindak atas nama rakyat. Demokrasi sejati hadir hanya melalui partisipasi langsung rakyat, dan bukan melalui perwakilan. Selain itu, karena suarabisadibelidandipalsukan, sistem legislasidipilih berdasarkanpada kampanye untukmemenangkansuara, itu sebenarnya sistemdemagog sejati.
“Partaiadalahbentukkediktatoran modern, tujuanpartaiadalahuntukmencapaikekuasaandengandalihmelaksanakanprogramnya. Keberadaanbanyak partaimengintensifkan rivalitas kekuasaan, daninimenyebabkanpengabaianseluruh aspirasimasyarakatdan program-program yang menguntungkan.”
Hugo Chavez, sejak terpilih pada 1998, untuk pertama kali laba perdagangan minyak digunakan untuk perawatan kesehatan, pendidikan, air bersih, subsidi makanan, serta layanan mendasar lainnya bagi semua warga Venezuela- khususnya masyarakat miskin yangterpinggirkan di bawah pemerintahan sebelumnya.
[caption id="attachment_129845" align="alignleft" width="300" caption="Hugo Chavez"][/caption] Chavez pun membentuk blok ekonomi alternatif Alianza Bolivariana para los Pueblos de Nuestra América (ALBA), Aliansi Bolivarian untuk Rakyat Amerika Kita. Sebuah organisasi kerja sama internasional yang didasarkan pada gagasan, politik, ekonomi dan integrasi antar negara-negara Amerika Latin dan Karibia. Aliansi berbasis pada prinsip demokrasi sosial dan upaya integrasi ekonomi daerah berdasarkan visi kesejahteraan sosial, barter dan bantuan ekonomi bersama, bukan liberalisasi perdagangan seperti praktek perdagangan bebas. Antigua, Barbuda, Bolivia, Kuba, Dominika, Ekuador, Nikaragua, Saint Vincent, Grenadines, dan Venezuela telah bergabung ke dalam ALBA. Kini ALBA tengah memperkenalkan mata uang baru, Sucre.
Cita-cita Ideologis
James Mac Gregor Burns menyatakan, ciri utama ideolog ialah devotes of ideas, knowledge and values.[1] Seorang ideolog adalah orang yang terlibat dengan nilai, tujuan, cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. Jadi ia merupakan orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan analitis dan normatif yang ia peroleh dari hasil perenungan yang mendalam. Edward A Schill memberikan pernyataan yang relatif serupa, “tugas ideolog adalah menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat, mendidik pemuda dalam tradisi dan keterampilan, melancarkan dan membimbing pengalaman estetik dan keagamaan berbagai sektor masyarakat.”[2]
Kehadiran kembali seorang ideolog untuk mengurai persoalan bangsa kiwari mutlak diperlukan. Ideolog yang memahami cita-cita ideologis NKRI ketika dilahirkan seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, dan mampu menggerakkan warga Indonesia kepada cita-cita bersama.
Ideolog itu bukan pemimpin bertipikal politisi yang melakukan segala hal dengan pertimbangan konsesi politik. Bukan pemimpin yang hanya pandai beretorika dan memoles citra. Kita membutuhkan pemimpin yang mampu mewujudkan apa itu makna merdeka.
Untuk hari ini, ideolog tidak akan menggunakan partai sebagai kendaraan politiknya, karena seorang ideolog merasa konsepsi dan cita-citanya terkerdilkan dengan bergabung dalam satu partai. Pimpinan seperti itu akan membentuk kekuatan ketiga (the third force), kekuatan alternatif yang menentukan.
[1] James M Burns, Intellectual Leadership as a Transforming Leadership, hal. 142
[2] Edward A Schill, International Encyclopedia of The Social Sciences, XII, hal. 720
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H