Keterwakilan perempuan dalam politik dapat dikatakan sebagai suatu fenomena yang “relative” baru. Hal ini dikarenakan adanya peran budaya patriarki terhadap akses dan kesempatan yang diberikan kepada perempuan secara umum, baik dalam hal pendidikan, karir, kesehatan, sosial, budaya, dsb.
Berdasarkan kacamata budaya patriarki, terdapat sebuah gap besar antara peran serta hak yang dimiliki oleh perempuan dengan laki-laki. Laki-laki seringkali dipandang sebagai sebuah gender yang lebih dominan, berkuasa, dan superior. Sedangkan perempuan vice versa; sebagai gender yang lebih lemah dan inferior.
Tertanamnya pemikiran dari budaya patriarki yang sudah bergenerasi-generasi lamanya dinormalisasikan di kalangan masyarakat tentunya memiliki dampak yang sangat krusial terhadap keberlangsungan hidup dan masa depan baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan minimnya akses dan kesempatan yang pada awalnya dibatasi untuk perempuan, tentunya seiring waktu berjalan, gerakan-gerakan pro hak perempuan semakin gencar dan semakin banyak bermunculan di atas permukaan.
Adapun di Indonesia sendiri, diantara gerakan-gerakan tersebut adalah lahirnya kebijakan yang mendukung terlaksananya Affirmative Action, seiring dengan disahkannya UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, maupun UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Dalam perundang-undangan Indonesia, kebijakan Affirmative Action diatur dengan adanya penetapan keterwakilan perempuan dalam politik minimum 30 persen. Meski demikian, pada realitanya, kuota minimum 30 persen tersebut bahkan belum terisi penuh, sebagaimana data dari hasil Pemilu 2019 menunjukkan bahwa angka keterwakilan politik perempuan hanya sebesar 20,8 persen.
Secara terus terang, penulis kerap mempertanyakan pengimplementasian kebijakan Affirmative Action itu sendiri. Lantas, penulis rasa bahwa penetapan kebijakan tersebut (pada tingkat partai politik) hanyalah sebagai formalitas semata.
Dapat penulis katakan demikian sebab sikap partai politik yang kurang menunjukkan ketekunan dan keseriusan dalam proses kaderisasi anggota-anggota keterwakilan perempuan mereka, baik dalam hal proses pencalonan, dukungan, serta kampanye untuk memberikan support lebih terhadap representasi perempuan dalam politik.
Alhasil, mereka bukannya memperhatikan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh kader-kader perempuan partai, akan tetapi justru terlalu fokus memperhatikan syarat administratif saja agar partai tersebut dapat mengikuti pemilu. Sehingga, calon kader perempuan yang seharusnya dapat melanjutkan ke tingkat pemilu dan kemudian parlemen dengan pemberian dukungan secara maksimal oleh partai, justru hanya dapat hadir untuk sekadar “absen kehadiran/nama” untuk persyaratan saja.
Kenyataan tersebut menurut penulis alangkah disayangkan sebab penulis yakin bahwasanya Indonesia memiliki segudang wakil perempuan yang memiliki potensi dan abilitas yang besar dan influential dalam mewakili suara rakyat di kursi pemerintahan.
Di sisi lain, apabila partai politik menekankan bentuk-bentuk dukungan terhadap kader perempuannya, penulis rasa hal tersebut akan berdampak baik terhadap rasa semangat kader-kader perempuan dalam “mengejar” potensi dari para saingan laki-laki, sebagaimana akses yang perempuan miliki terhadap dunia politik masih relatif baru dibandingkan dengan kesempatan dan akses yang laki-laki sudah miliki sejak dahulu.
Alhasil, dengan pemaksimalan dukungan terhadap kader perempuan, hal tersebut akan berimplikasi terhadap kemungkinan bersaing antara kader perempuan dan laki-laki di pemilu serta peluang menaiknya persentase keterwakilan perempuan dalam politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H