Suara AC berdengung pelan. Anginnya yang sejuk terasa nyaman. Membuat mata terasa makin berat. Sayup-sayup suara Devie Matahari membacakan nukilan novel Prasa terasa makin jauh. Jauh. Semakin jauh.
Tetiba saya mengaduh pelan. Pinggang saya terasa sakit setelah dicubit mas bojo. Oh rupanya saya sempat tertidur. Maaf.
Minggu, 29 Oktober 2023 bersama sekitar 100 teman-teman Kompasianer dan komunitas lain saya mengunjungi Taman Ismail Marzuki, Cikini Jakarta. Sedianya kami hadir dalam Bedah Buku Novel "Prasa" dan "Kelir" yang digelar di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Perpustakaan Jakarta.
Novel "Prasa" dan "Kelir" yang diterbitkan Teras Budaya merupakan buah karya rekan Kompasianer senior Yon Bayu Wahyono. Tidak tanggung-tanggung dua novel yang baru saja dirilis tersebut akan dibedah (baca : dikuliti) langsung oleh Sunu Wasono dan Isson Khairul.
Siapa mereka?
Dari penjelasan Moderator Nuyang Jaimee ternyata mereka bukan orang sembarangan. Sunu Wasono adalah seorang sastrawan dan penyair yang juga pernah menjadi dosen di UI. Sementara Isson Khairul dikenal sebagai seorang jurnalis senior dan konsultan media yang sudah malang melintang di dunia penulisan.
Selain bedah buku, hadir Retno Budiningsih membacakan nukilan "Kelir" dan Devie Matahari untuk membacakan nukilan "Prasa". Ambience-nya langsung terasa beda. Seperti menonton film saja tapi versi membayangkan.
Dalam nukilan "Kelir" saya seolah diajak bu Retno mengikuti tokoh Paksi dan Dyah manakala memasuki padepokan dan makan nasi bungkus daun.
Dengan nada suara yang berbeda seketika Retno menjelma menjadi Dyah saat menceritakan soal padepokan. Pun seketika berubah menjadi Paksi yang gelagapan kebingungan menyimak cerita Dyah.
Kebetulan saya sudah membaca novel Kelir. Saya masih ingat isinya sebagaimana yang diceritakan ulang oleh Retno. Sebagai orang Jawa, sedikit banyak apa yang disampaikan dalam novel dengan mudah saya pahami.
Tapi tidak demikian saat novel Kelir dikuliti oleh Sunu. Untuk penulisan kalimat berbahasa Jawa, beliau menyebutkan kalimat-kalimat berbahasa Jawa tidak sesuai dengan kaidah, karena tidak ditulis miring dan tidak dijelaskan artinya. Waini dia. Ternyata proses menulis tidak mudah yang kita kira.
Beliau mengkritik soal penulisan kata yang kurang tepat _ ketinggalan huruf "K". Misalnya kata "menampakan, menggerak-gerakan" yang seharusnya dengan dua huruf "K" tetapi dalam novel tersebut hanya dengan satu huruf "K".
Saya langsung nyengir dalam hati. Terjawab sudah pertanyaan saya tentang siapa editornya sewaktu menulis review versi saya pribadi tentang novel Kelir di Kompasiana. Saya yakin penulis dan editornya mas Yon sendiri.
Sesi berikutnya nukilan Prasa yang diikuti dengan colekan pedas dari Isson Khairul. Beliau menyoroti tokoh perempuan bernama "Prasa" yang masih belum sepenuhnya menjelma sebagai perempuan. Masih terasa kelelakiannya padahal novel tersebut bergaya fiksi romantis.
Menurut Isson, Â novel Prasa : Operasi Tanpa Nama terlalu banyak memaparkan fakta layaknya laporan jurnalistik. Tapi di sisi lain novel Prasa ternyata mempunyai keunikan sendiri. Banyak kata-kata puitis di dalamnya. Sayang nama-nama tokoh yang digunakan tidak familiar. Jadi untuk dibaca kala menemani perjalanan di KRL misalnya, Â jadi kurang greget.
Acara Bedah Buku berlangsung sangat hangat dan cair. Di sesi tanya jawab gelegar tawa peserta undangan memenuhi ruangan. Banyak yang bertanya-tanya. Jangan-jangan mas Yon betulan pernah praktik jadi dukun klenik karena penampilannya yang sangar dan paham sekali membahas soal Kejawen. Jangan-jangan cerita fiksi dalam novel Kelir dan Prasa adalah murni pengalaman pribadi?
Mas Yon membuat closing statement. Bahwa karyanya tersebut adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban diri atas peristiwa kelam yang pernah terjadi di negara kita, seperti G30S, Malari dan lain-lain. Beliau juga mengajak pembaca novelnya untuk mengambil sikap apakah diam saja, melupakan atau berusaha mencegah supaya tidak terulang. Melalui data dan sudut pandang sebagai wartawan politik dan penanggung jawab majalah Misteri maka kedua novel yang diluncurkan bersamaan tersebut diolah sebagai dongeng.Â
Anyway, saya sangat mengapresiasi buah karya mas Yon. Tidak penting soal hasilnya yang terpenting awal mulanya. Bisakah kita menjadikan momentum ini untuk memulai menulis sebuah karya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H