"Susah bicara dengan orang yang tidak percaya. Nanti akhirnya kita bertengkar lagi. Mas Paksi dan saya punya weton sama. Kalau bertengkar tidak ada yang mau mengalah." (Hal 114)
"Demikian juga dengan melekan pada malam satu Suro. Ini kan malam tahun baru Islam, satu Muharram. Kalau ada yang mengatakan klenik, namun marah ketika malam tahun baru Islam kalah meriah dengan malam tahun baru Masehi, perlu dilihat kembali motifnya." (Hal 130)
Dari beberapa paragraf tadi ternyata masih banyak tradisi Kejawen yang dilakukan masyarakat Jawa hingga saat ini. Sebut saja ritual nyadran, mitoni, tedhak siten, dan wetonan. Semua hari-hari penting itu ditetapkan sesuai kalender Jawa yang memiliki Primbon sebagai aturan-aturan dalam menentukan hari penting dan tata caranya.Â
Sementara dari kacamata orang luar Jawa novel ini seolah membenturkan antara mitos dan sejarah Jawa. Belum lagi ada kaitan antara  politik adu domba Belanda dan proses penyebaran Islam di masa itu. Â
Jadi tidak perlu diperuncing dan diperdebatkan. Just enjoy, it. Saya merekomendasikan novel ini dibaca saat gabut di dalam KRL. Alih-alih membosankan novel ini sangat cair. Mengalir begitu saja membaca kata per kata, kalimat per kalimat, paragraf per paragraf, bab per bab. Waktu baca total tidak lebih dari dua jam saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H