Jadi Kelir adalah kata dari bahasa Jawa yang berarti tirai atau gorden pertunjukan wayang. Kelir juga diartikan sebagai warna. Makna itulah yang mungkin disimbolkan penulis buku untuk menyampaikan pesan terkait kebudayaan dan tradisi Jawa ; wayang dan warna.Â
Tema cerita untuk novel bernuansa romansa sangat tidak biasa yaitu pergulatan batin orang Jawa untuk tetap meneruskan tradisi Kejawen kepada keturunannya atau membiarkan menguap begitu aja digerus kemodernan.Â
Dari cara bercerita mas Yon Bayu jelas mencerminkan beliau banyak tahu soal bahasa dan sejarah Jawa. Banyak dialog Jawa dan penggambaran padepokan yang detil membuat pembaca seolah tercemplung di labirin yang kental dengan nuansa Njawani. Namun bagi yang tidak paham bahasa Jawa jangan kuatir. Penulis telah menjelaskan di dalam narasinya sehingga pembaca dengan mudah akan memahami artinya.Â
And last but not least, editing-nya top. Sayang di bagian data buku tidak dijelaskan siapa editornya. Saya menduga Mas Yon sendiri yang mengolahnya karena tidak ada kata yang salah tulis. Penggunaan kata yang tidak sesuai pun nihil sehingga pembaca tidak bakal rancu dan merasa bingung.
Review Kelir
Novel Kelir mengambil alur maju yang mengisahkan Paksi dan Haruni, pasangan kekasih yang sedianya akan menikah dalam waktu dekat. Sayangnya Paksi tidak dapat menemani acara ulang tahun Haruni karena harus menemani ayahnya, Haromoto, ke kampung asalnya Banyumas untuk sebuah alasan yang tidak diketahuinya.Â
Setiba di desa, Paksi bertemu Dyah, seorang mahasiswi antropolog yang ternyata memiliki hubungan yang cukup dekat dengan ayahnya. Paksi kemudian menyangka ayahnya hendak menikahi gadis berkerudung tersebur setelah kepergian ibunya.Â
Alhasil komunikasi Paksi dan Dyah tidak berjalan mulus. Kecurigaan Paksi semakin mencuat saat mengetahui ada banyak hal yang diketahui Dyah seputar asal usul ayahandanya.Â
Nah, deretan cukilan menarik yang bisa saya ulik diantaranya adalah soal peziarah ke makam yang dikeramatkan di padepokan (hal 82).
"Mau minta jodoh, ya?"
"Atau mau minta kekayaan?"
"Siapa tahu mau nyaleg!"
"Tetapi padepokan kita berbau klenik. Bukan sekedar melestarikan adat istiadat Jawa. Apa tidak bertentangan dengan keyakinan kita?" (Hal 101)