Jujur, bubur di sini enak banget rasanya. Dari dulu sampai sekarang bagi lidah saya ga berubah. Ga heran kalau burcik tenar banget sejak tahun 60-an.Â
Setelah mengistirahatkan lambung, spot ke dua yang saya tuju adalah siomay mas Nur. Alhamdulillah buka, soalnya saya sudah bisik-bisik ke mba Hida kalau saya kepengen siomay di sini hihihi...Â
Siomay Mas Nur lokasinya persis di depan stasiun Cikini. Tepatnya berseberangan dengan Gedung Golkar. Pasti gampang mengenali gerobaknya. Cari saja payung besar warna warni dan dikerubuti banyak orang. Gak salah gak bukan pasti itu siomay Mas Nur.Â
Bertiga bareng Mba Hida dan Mba Yayat kami panas-panasan ngantri siomay. Abangnya spertinya kelelahan setelah membungkus berapa puluh porsi untuk dibawa pulang jadilah kami disuruh ambil sendiri. Ada siomay, otak-otak, tahu putih, tahu kulit, kol, kentang dan pare. Harganya sama, seporsi isi lima harganya 15 ribu.Â
Kata abangnya, keluarganya jualan siomay di sini sudah 3 generasi. Bukanya dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam. Ga ada cabang, katanya. Jadi the one and only hihihi...Â
Saya suka banget dengan siomay ini. Ikannya kerasa banget. Kata abangnya, dalam sehari sebanyak 25 kilo ikan dan 10 kilo tepung sagu menghasilkan 1000 buah siomay. Pantes enak ya.Â
Abangnya ramah banget dan dia juga ga pelit nuangin bumbu kacang sampe luber. Kebayang kan kalau beli siomay di gerobakan lain, kuah kacangnya pasti ditaroh di dalam botol yang ujungnya diplastikin dan dilubangi pakai jarum. Jadi kalau nuang kuah kacang musti dikocok penuh tenaga dan makan waktu. Ujungnya yang beli jadi ga tega deh dan pasrah dikasih bumbu seadanya.Â
Setelah nyomai kami balik ke Burcik lanjut ngobrol sambil ngemil martabak. Gak terasa hari semakin sore. Mendung di kawasan Cikini pun sudah menggantung.Â