Cinta adalah sebuah rasa yang membuat kita tidak berhenti mengingat...
Saya berdiri sejenak di depan lemari ibu. Perlahan-lahan kemudian saya membuka pintunya. Suaranya berderit masih sama seperti dulu. Bersamaan dengan itu wangi kamper pun menyeruak. Dalam hitungan detik saya langsung teringat kain-kain batik ibu. Sepertinya itulah mungkin pertanda saya sedang jatuh cinta dengan kain batik.Â
Awal kecintaan saya terhadap batik bermula dari  kakak pertama saya, Mba Wid. Dia adalah orang yang mengajak saya ikut latihan nari di sanggar tari Jawa klasik waktu saya kecil. Setiap latihan, kan, murid-muridnya diwajibkan mengenakan kain jarik dan selendang. Selendangnya pun bukan selendang yang biasa dikenakan ibu sebagai penunjang busana kebayanya. Tapi selendang khusus untuk nari. Namanya selendang cinde yang panjangnya sekitar 2,5 meter. Saking panjangnya selendang cinde akan membuat gerakan kibasan selendang jadi semakin indah dilihat.Â
Sedangkan untuk bawahannya, murid-murid dibiasakan mengenakan kain jarik yang membalut pinggang sampai kaki. Itu sebenarnya bikin gerakan  jadi terbatas. Setiap langkah harus pendek-pendek karena mana bisa melangkah lebar, kan dibatasi kain. Gerakan yang selaras dengan alunan gending dari kaset yang diputar maksudnya agar setiap gerakan tari jadi terlihat lebih gemulai.Â
Kenangan yang bisa saya ingat selanjutnya adalah kain-kain jarik ibu. Saya sering memandang tanpa berkedip gerak gerik ibu yang sedang bersiap-siap untuk pergi kondangan (baca : resepsi). Saya pun masih ingat setiap tahapannya. Pertama ibu akan mengenakan kain jarik yang sudah diwiru seperti kipas, dilanjutkan dengan mengenakan stagen dan ditutupi lagi dengan angkin (selendang tipis seperti satin supaya terlihat glamour).
Setelah selesai di bagian bawah selanjutnya ibu akan mengenakan kebaya dan selendang. Terakhir ibu akan mengenakan cemara (baca : rambut palsu yang modelnya seperti ikat buntut kuda dengan panjang sekitar semeter) yang disatukan dengan rambutnya lalu menggelungnya. Tidak sampai satu menit gelungan konde siap mempercantik rambut ibu. Untuk finishing touch ibu kemudian menusukkan dua tusuk konde di sisi kiri kanan sanggul, menyematkan bros di dada kiri supaya selendang yang tersampir di bahunya tetap rapi lalu mengenakan selop. Seketika ibu jadi terlihat anggun dan feminin.
Kemarin waktu saya dan teman-teman komunitas Ladiesiana bertandang ke sentra Batik Betawi Terogong kenangan saya akan batik-batik di lemari ibu muncul lagi. Sayang sekali sekarang batik-batik ibu hanya menjadi penghuni lemari saja. Ibu yang sekarang sudah sepuh sudah tak mampu lagi mengenakannya. Padahal kalau ingat cerita ibu dan mbak Wid, batik koleksi ibu banyak macamnya. Semua ada filosofinya. Bahkan katanya kain batik yang saya gunakan waktu akad nikah dengan ayahnya anak-anak juga punya arti.Â
Asal Mula Batik Betawi Terogong
Dari situ saya paham bahwa batik ada kaitannya dengan sejarah. Seperti di Terogong, misalnya. Di bilangan Cipete, Jakarta Selatan dulu juga ada sentra Batik. Seperti dikisahkan ibu Siti Laela, selaku founder Batik Betawi Terogong, dirinya mungkin satu-satunya orang yang masih merasakan kebiasaan masyarakat di kampung Terogong kala itu. Setiap hari, sehabis bertani, ibu-ibu akan membatik di rumahnya. Kainnya dibeli di daerah Palmerah dan Tanah Abang lalu ibu-ibu akan membatik untuk mengisi waktu luangnya.
Namun sayangnya, pelahan-lahan, batik Betawi menghilang. Kala itu, mungkin masyarakat Betawi berpikir bahwa membatik adalah pekerjaan kuno. Kalah sama batik print yang harganya murah dan pengerjaannya cepat. Ketika ibu Siti Laela semakin besar, kurang lebih tahun 1970-an batik Betawi benar-benar punah. Sekarang batik identik dengan masyarakat Jawa sedangkan orang Betawi lebih dikenal dengan atraksi silat dan lenongnya.Â
Kenangan masa kecilnya dan keinginan kuatnya untuk melestarikan batik Betawi kemudian bu Laela menggagas berdirinya Batik Betawi Terogong. Sebelumnya dirinya telah membaca banyak referensi yang menguatkan keyakinannya bahwa Batik Betawi sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan, ,enurutnya, di jaman VOC pun Batik Betawi sempat menjadi industri besar.Â
Tapi memulai  juga bukanlah hal mudah. Baik ibu Siti Laela maupun masyarakat Terogong tidak tau cara membatik. Mereka tak sempat belajar membatik kala mereka masih kecil. Hingga akhirnya bu  Lalea mendatangkan pengrajin dari Pekalongan untuk mengajarinya membatik dengan cara konvensional. Nah, sekarang di hadapan saya, inilah dia 40 motif andalan Batik Betawi Terogong yang terinspirasi dari flora, fauna dan ciri khas Jakarta seperti ondel-ondel, abang none Betawi, Monas, dan lain-lain.Â
Motif Batik dan Filosofinya
Ibu Siti Laela mengisahkan, jaman dulu ketika dirinya masih kecil, pohon mengkudu dan ciremai tumbuh banyak sekali di kampung Terogong. Terinspirasi dari situ, ibu Siti Laela kemudian membuat motif Tebar Mengkudu yang artinya tekun dan sabar emang kudu. Motif ini ditujukan untuk menguatkan masyarakat Betawi yang teus tersingkir ke daerah pinggiran jadi harus tetap tegar dan sabar. Ah, jadi sedih, kan.Â
Motif lain yang mengingatkannya pada masa kecil adalah daun pihong atau daun pacar kuku. Saat dirinya masih kecil, ada kebiasaan di daerahnya kalau orang pergi Haji yang ditunggu oleh-olehnya adalah hena atau pacar kuku. "Waktu saya kecil, saya suka bikin kutek dari pacar kuku. Ini mah mainan saya," kenangnya sambil tersenyum.Â
Lalu apa ya kira-kira motif yang jadi favorit? Bu Siti Laela kemudian menunjukkan beberapa kain. Umumnya orang menyukai batik bermotif khas Jakarta misalnya ondel-ondel, penari Yapong, Tugu Monas, Tugu Pancoran dan abang none Betawi. Harganya bervariatif, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan tergantung dari detil motif dan banyak warna yang digunakan.Â
Belajar Membatik
Bu Laela mengajak Ladiesiana untuk belajar membatik. Dari mulai menyalakan malam hingga mencair dan panasnya cukup, merogoh bagian dalam canting supaya ga mampet, menyorek (istilah yang digunakan untuk menjiplak pola di atas kain dengan pensil), dan mengoleskan cairan malam ke atas kain. Nah ini yang sulit. Kita harus hati-hati menuangkan cairan malam. Kalau kebanyakan bisa mbeleber., kalau kekurangan tidak kelihatan hasilnya. Hati-hati selalu supaya cairan malam tidak netes ke baju atau ke kain yang akan dibatik.Â
Nah dari mba Wid kakak saya, saya baru tau kalau membatik diambil dari kata 'tik... tik... tik...' saat canting bermain di atas kain. Saya coba terapkan mengikuti irama hati, ' tikk... tikk... tikkk...' tapi tetap saja susah. Kemudian saya teringat motif Batik buatan bu Laela Tebar Mengkudu. Sepertinya saya  Tetap Sabar Emang Kudu, ya?Â
Batik adalah bagian dari sejarah wastra Indonesia. Di atas kain batik kita akan menemukan jutaan cerita dibalik proses pembuatannya. Sayang sekali kalau batik punah tergilas jaman. Sudah waktunya kita kembali membudayakan batik. Seperti ibu Siti Laela dengan batik Betawi Terogongnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H