Tidak terasa 53 hari lagi pemilihan presiden akan kita jelang. Rasanya baru kemarin kita mencoblos di TPS terdekat. Belum hilang rasanya kebanggaan bisa memamerkan jari bertinta melalui foto-foto yang di-share di sosial media dan bisa ditunjukkan ke pusat perbelanjaan untuk mendapatkan diskon. Betul kan? hehehe...Â
Dinamika Pemilihan Presiden di setiap masa jadi mengingatkan saya akan beberapa kenangan. Di era 80-an, masa kampanye adalah hal yang paling saya tunggu-tunggu. Dengan sabar saya setia menanti arak-arakan kendaraan peserta kampanye melewati depan rumah saya. Bagi saya, semaraknya kendaraan-kendaraan yang dihias untuk pawai dan tampilnya artis-artis yang hanya saya nikmati dari layar televisi sudah menjadi hiburan tersendiri. Apalagi bisa melihat senyum Rhoma Irama yang tangannya melambai-lambaikan ke arah saya. Aaak, ga akan saya lupakan deh.Â
Begitupun masa pertama kali saya mencoblos di usia 18 tahun pada tahun 1992. Meskipun yakin seratus persen kalah (tau kan yang selalu menang partai apa?) tapi saya berusaha mengikuti setiap tahapan proses mencoblos. Apalagi bapak saya waktu itu jadi ketua RT. Mau tidak mau (lha wong sudah diurusin dokumennya) ya saya manut sajalah sama orang tua. Hitung-hitung nambah pengalaman.
Perilaku Politik Jaman Now
Sejak merdeka 74 tahun silam, tepat pada 17 Agustus 1945, negara kita telah menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) sebanyak 11 kali hingga tahun 2014. Nah, tahun ini menjadi tahun ke-12 terselenggaranya pesta demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia. Buat saya sendiri, ini merupakan pemilu ke tujuh dimana saya pernah sempat golput. Perilaku politisi yang melakukan korupsi, tidak menepati janji, cenderung berbohong, dan mengedepankan kepentingan diri dan golongannya menjadikan saya sempat sinis dan tidak percaya pada politik. Duuh, maapkeun ya.Â
Sebagai mantan anak muda dengan pesonanya *Kibasjilbab* saya akui wajah demokrasi Indonesia kini mengalami pergeseran sejak dunia digital berkembang. Obrolan politik kini tak lagi asik didiskusikan di warung kopi sambil berbisik-bisik. Semua orang tanpa kecuali sekarang memiki akses pada sebuah platform untuk bersuara. Namanya media sosial. Pendapat, keresahan, keberpihakan, kegembiraan, sudut pandang bisa diekspresikan siapapun dengan terbuka.
Yang membacanya, mau suka atau tidak bisa merespon seketika itu juga. Akibatnya, percakapan publik sontak menjadi riuh. Ketika ada kubu yang sama bersikeras pada versi kebenarannya dan menafikan apa yang disampaikan 'lawannya' media sosial menjadi ajang untuk saling menjatuhkan. Nah, disinilah wabah hoax dan disinformasi menyebar.Â
Saya prihatin. Bangsa kita yang dikenal guyub dan ramah nyatanya riskan mengalami konflik sosial maupun agama. Entah kemana gaung kebhinekaan sebagai perekat bangsa kita, rasanya, koq, semakin memudar saja. Sadar atau tidak, karena Pilpres, banyak dari kita terjebak pada kebencian, intoleransi, radikalisme dan teorisme.
Dalam situasi seperti ini seharusnya ada pihak yang menjadi wasit atau penengah. Media sebagai sumber informasi yang netral seharusnya dapat menjadi rujukan ketika ada dua informasi yang bertolak belakang mengenai peristiwa yang sama. Sayangnya, kebanyakan media gagap menjalani peran ini. Tak sedikit media yang sudah melupakan esensi keberadaannya sebagai clearing house of information.Â
Deklarasi Penulis Demi Pemilu DamaiÂ
Faktanya, revolusi digital mengacak-acak persepsi publik tentang penyampaian informasi. Karena balik lagi, siapapun kini bisa jadi reporter atau pelapor berbekalkan smartphone aja. Siapapun kini bisa jadi komentator cukup dengan menulis blog aja. Nah, ini bisa menjadi bom waktu yang membahayakan. Sebab itu saya menyambut baik ajakan "Deklarasi Penulis Untuk Pemilu Damai, Lawan Intoleran, Radikalisme dan Terorisme" yang digagas Kang Pepih Nugraha, pendiri portal Pepnews.com beberapa waktu lalu.Â