Oleh Diah Trisnamayanti
Kontestasi politik tahun depan memang cukup ramai dibicarakan oleh para penguasa partai negeri ini. Bolak balik saya buka channel TV isinya terkait  Pilpres. Semua cas-cis cus tentang bakal calon pilpres dan wapres. Si A punya kesempatan untuk menang begitupun si B dan C. Maaf ya saya bisa mengatakan si A, si B dan si C karena semua mewakili kategori jumlah pengusung di saat pemilu nanti namun pemilu kali ini saya kenapa belum merasakan ada yang mengigit dengan usulan rencana mereka.
Kalau ditilik-tilik sih, semua menonjolkan seolah mereka mampu mengurus rakyat yang jumlah totalnya sudah mencapai 273.879.750 juta jiwa (dukcapil, Kemendagri, 2022). Itu hak mereka mengasumsikan diri mereka mampu mengurus jutaan jiwa dan bertanggungjawab terhadap perubahan potensi kehidupan yang lebih baik.
Mengurus negara bukan hanya sekedar membuat rencana besar dirinya dan partainya. Tetapi ada bayi yang harus hidup dan bertumbuh dengan kebutuhan Gizi, pangan serta lingkungan yang cukup dari keluarganya; ada keluarga yang kepala keluarganya tak berpenghasilan; ada moral yang harus diajarkan untuk menjadi seorang manusia; ada agama yang harus dipahami mendalam oleh masing-masing umatnya; ada ras yang harus diberikan ruang mengapresiasi kemampuanya bukan mendominasi satu dengan lainnya; ada kebijakan-kebijakan manusia yang mendominasi kepentingan pribadi; ada aturan yang abu-abu dan penuh intrik dan masih banyak hal yang berasal dari masyarakat bawah justru tak pernah didengar dan dikerjakan layaknya mereka membutuhkan suara mereka. Tidak ada realisasi nyata. Saya terkadang merenungi sampai seberapa lama sih saya hidup di muka bumi? Kok orang yang berbaju keren dan bergelar lebih dari dua bidang profesionalpun menuntaskannya butuh rakyat memviralkan dahulu.
Saya coba membayangkan, 20 tahun lebih setelah era reformasi; Adakah yang bisa kita ambil? Semakin burukkah kehidupan masyarakat saat ini? jika ditilik melalui TV, benar ada yang meningkat kehidupannya. Sayangnya lebih banyak jiwa-jiwa yang kelaparan. Kelaparan bukan hanya dalam hal harta-benda, tetapi kelaparan dalam berproses meningkatkan hak untuk tetap hidup, hak untuk mendapatkan kedamaian dan ketenangan dalam mengelola rezeki yang didapat dari Tuhannya. Baru-baru ini kita bisa melihat dan mendengar betapa mahalnya ongkos haji tahun ini dan tahun ke depan kelak. Bertahun-tahun seorang menabung demi mewujudkan haknya yang kelaparan pada kasih sayang tuhannya. Mereka butuh minuman dan makanan rohani dengan menjalani ritual agamanya ke tanah suci. Adakah pengelola negara berpikir atas kebutuhan itu? Berapa prosen biaya akomodasi untuk pejabat yang akan melawat ke tanah suci dengan uang mereka? Malukah mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk mengambil hak manusia tersebut bertemu dengan tuhannya di tanah suci dengan menggunakan nilai uang tambahan keberangkatan mereka yang cukup besar itu? Bagaimana solusi negara untuk mereka yang tidak mampu melunasi biaya hajinya yang tiba-tiba membengkak? Sementara berbanding terbalik dengan keadaan itu, organisasi partai nampak mengadakan perhelatan yang sangat besar biayanya. Uang mereka kah itu? atau uang rakyat seperti saya?
Semua pertanyaan tersebut muncul di dalam benak saya. Adakah sikap mendidik yang diupayakan oleh penentu kebijakan tersebut?
Tidak ada ujungnya bila kita bukan orang yang mumpuni di bidangnya. Bicara soal mumpuni, apakah orang yang mumpuni mampu mengatasi keserkahannya?
Fenomena dapat jabatan basah, keruk harta negara sebanyak-banyaknya selama berkuasa. Hukum berjalan sesuai "duit" yang mengalir. Seorang mahasiswa yang ternyata adalah anak seorang pejabat keuangan terbongkar kasus-kasusnya karena dia kelaparan moral. Sikap sopan dalam berbicara tak cukup menyatakan bahwa dia bermoral, aktualisasinya ternyata dia kelaparan kasih sayang dan pendidikan orang tua terhadap dampak kecerdasan manusia tersebut yang tidak terlalu mengenal tuhannya; lebih kepada mempolitisir jabatan untuk kepentingan pribadi dan kepuasan menguasainya. Dia mumpuni dalam hal kecerdasan menghitung untung rugi dan pajak negara, tapi dia tak bermoral atau lupa moral itu apa. Oleh karenanya, dia kemplang wajib pajak untuk membayar jasa menginformasikan berapa jumlah yang harus diberikan pada negara dan pada dirinya sebagai penasehat pajaknya. Tapi dia lupa, hatinya berbicara melalui aktualisasi anaknya. Arogansi sang anak merasa segalanya dapat diraih, tak perduli orang lain mau makan apa, adalah momentum percaya dirinya bahwa "duit" bisa mengalahkan apapun di dunia. Masyarakat membaca dan menilainya, termasuk para pendidik dan peserta didik. Secara idealis, mereka mengetahui itu salah. Adakah negara menyatakan dia bersalah? Ya, Ada; tetapi masyarakatpun memperhatikan bahwa ada sekian banyak pendukung yang berdiri di belakang si arogan tersebut karena mereka memang tidak dimiskinkan. Hanya tuhannya yang dapat membuatnya jera.  Belum lagi ada kasus penggalang dana triliunan semula untuk bencana alam bahkan uang korban kecelakaan penerbangan pun disikatnya. Mereka lupa ada rakyat yang kelaparan rohani dan jasmani. Itulah rantai kesulitan pendidikan yang sebenarnya di masyarakat. Masyarakat jelas tidak bodoh; menilai hal yang demikian bukanlah  masalah punya harta/benda saja, tetapi hal pendukung menjadi hal yang dicermati pula oleh masyarakat bawah. Apakah para kontestan capres/cawapres berpikir itu? Nampaknya tidak, mereka hanya berpikir yang penting menang dahulu, baru mikirin orang. Maaf ya. Semoga tidak seperti prediksi saya ini.
Setiap hari raya, harga merangkak naik. Bahkan kebutuhan bahan pokok pun ikutan naik, sampai pada yang tidak ada hubungan dengan bahan pokok juga ikutan naik. Apakah penguasa partai tahu itu? ya jelas tahu dan paham. Ada juga bahkan yang bermain di dalamnya untuk apa? Ya untuk memenangkan capres dan cawapresnya. Tujuannya saja sudah berbeda dengan tujuan ketika masa mencapai kemerdekaan. Para politikus sudah dididik untuk piawai berorasi dan membuai masyarakat dengan janji-janji luar biasa. Itu memang tugasnya. Apakah mereka sadar, mereka sebenarnya berjanji pada tuhannya dihadapan manusia hidup. Mereka meyakinkan bahwa mereka bisa melakukan kemenangan dengan cara yang egois. Karena tidak akan ada kemenangan yang sifatnya sosial kan, semua pasti ada ego di dalamnya.
Salahkah saya sebagai seorang rakyat bawah tidak berpihak pada siapapun? Akankah negara ini makin terpuruk bila saya tak memilih? Apakah pilihan A, B dan C ini akan berpihak kepada saya kelak? Wallahu'alam bisawab.