Suatu hari, Handphone ini memberi info bahwa ada notice dari sosok misterius yang beberapa bulan belakangan ini selalu menghantui pikiranku setiap hari. Sosok yang setiap kali  muncul dalam heningku dan memberi ruang pada memori ini untuk mengulang rekaman jejak yang terjadi dua tahun silam. Sosok yang mendiami sebuah kota tua nan megah diantara Negeri Serambi Mekkah dan Negeri Ranah Minang itu sudah lama tidak mengunjungi kota-kota besar di penjuru Pulau Sumatera setelah memperoleh sinyal mistik beraroma bunga melati yang ternyata tidak dapat ditaklukkan, karena jiwa si pelipur hatinya masih berperang hebat dengan masa lalunya. Sungguh sangat menyayat hati bukan? Lantas, dia memutuskan berhenti melakukan perjalanan dan menetap di kota kediamannya untuk mempelajari ilmu baru dalam mengobati luka hatinya yang tersayat oleh duri saat singgah di Bumi Rafflesia. Aku mengenal sosok yang mengirim notice itu, dia adalah sosok yang dikirim oleh takdir pada bulan Maret untuk diriku. Kami dipertemukan dengan adanya kepentingan bisnis perusahaan di dalamnya, pertemuan yang memberi kesan realistis tapi juga berarti. Dia adalah salah satu sosok baru yang ku temui di sepanjang perjalanan hidup yang memberi ruang diri ini untuk menyelinap masuk dan memberi warna pada kanvas putih dalam hidupnya.
"Hai Kak, lusa nanti aku mau ke Bengkulu nih". Sahut Rifky, Notice pertama yangÂ
terlihat dari layar Hpku.
"Wah, mantap itu. Tapi, kakak udah nggak kerja lagi disana ki". Sahutku
"Lah, kenapa?" Tanya Rifky
"Lagi istirahat sekarang ki. Hehe". Jawabku singkat
"Hmm.. Kalo Rifky udah sampe Bengkulu, kita jalan yuk!" Sahut Rifky
"Boleh,, ". Jawabku singkat
Â
      Lima hari kemudian, Minggu menghampiri dengan penuh suka cita. Dia yang telah sampai di Bengkulu pada malam itu, sudah dalam perjalanan menuju rumah untuk menjemput diri ini menemaninya selama tiga jam mengelilingi kota. Selang sepuluh menit, mata ini melihat sosok rupawan berambut ikal, berkulit putih, dan pesona wajah yang khas dari Pulau Samosir. Aku sangat kagum dengan penampilannya yang sangat sempurna dengan aroma lembut terhirup dari kerah kemeja batiknya. Setelah berpamitan dengan Ibu yang menyambut kedatangannya di depan pintu, kami melaju menyusuri jalanan kota.
      "Mau kemana kita hari ini?" Tanyaku
      "Nggak tau nih, enaknya kemana ya?" Sahut Rifky.
      "Gimana kalo kita nonton aja?" Sahut Rifky lagi memberi solusi.
      "Hmm.. boleh." Jawabku singkat.
      Sebenarnya, hati ini ingin bersuara mengajak Rifky untuk Deep talk di tepi pantai sambil menikmati pesona senja yang menawan ditemani suguhan kuliner pantai yang nikmat dan air kelapa yang menyegarkan. Hanya saja, bibir ini memilih bungkam dan mengikuti keinginannya untuk menghargai usahanya. Semenjak mendapat Notice dari Rifky, ada perasaan aneh yang mengusik hati dan pikiranku. Terlepas dari keadaan kesehatan dan keuanganku yang sedang jatuh oleh gejala-gejala TBC yang menyerang sistem pernapasanku dengan ganas, ternyata diri ini juga sudah terjebak dalam belenggu rasa. Ada satu nama di masa lalu yang merenggut rasa bahagia menjadi rasa bersalah sehingga tidak mendukung hati ini untuk berbicara.
      Saat berada di ruangan gelap menyaksikan indera ke enam si pemeran utama yang bernama Uma sedang bernostalgia pada misteri tragedi pembunuhan di dalam bioskop dengan suara dentuman yang keras dan mengejutkan yang menegangkan raga ini. Aku yang merasa takut dengan adegan tragis yang ditampilkan dari layar lebar itu segera menutup wajah dengan jaket yang ada di genggamanku. Begitu pilu belenggu rasa yang sedang ku hadapi sejak sosok masa lalu itu menghantui pikiranku, diri ini juga harus melawan rasa takut untuk mengakui dan menerima kenyataan setelah berakhirnya cerita dalam film ini. Seketika langit menjelma samudera kegelapan yang amat menakutkan, terpaan angin bertiup dengan kencangnya menandakan akan datang badai untuk menutup cerita antara Aku dan Rifky di sore menjelang malam itu. Akhirnya sosok laki-laki bermarga Harahap yang mempesona dengan kehangatannya bagai mentari pagi itu sudah lama menghilang dari bumi Rafflesia. Rupanya, aku sudah menyia-nyiakan kebaikan dan ketulusan hati seorang laki-laki dan kini hanya ada kenangan yang tersisa tentang Dia dan film Mangkujiwo dalam memori.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H