Mohon tunggu...
Diah Sarithi
Diah Sarithi Mohon Tunggu... Lainnya - Man Jadda Wa Jada

Celoteh.literasi30

Selanjutnya

Tutup

Diary

Celoteh.Oktober

30 Desember 2023   22:48 Diperbarui: 6 Januari 2024   23:15 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

https://www.kajianpustaka.com
https://www.kajianpustaka.com

Aku ingin memberi celoteh singkat tentang hal yang baru pertama kali ku alami sepanjang perjalanan hidupku di bumi. Aku adalah seorang disabilitas  yang memberanikan diri untuk pertama kalinya meninggalkan kota kehidupanku yang nyaman dan begitu banyak menyimpan kenangan serta pelajaran berharga dalam hidup. Salah satu provinsi yang memiliki maskot bunga Rafflesia, dengan keberagaman keindahan alamnya, seperti bentangan laut biru dan pantai nan indah yang menghiasi tengah kota, ada pesona air terjun yang menabjukkan tersembunyi di balik hutan-hutan lebat yang membentang kehijauan dan satu lagi, adanya  sebuah monumen bersejarah dari peninggalan Inggris yang masih berdiri dengan kokohnya yaitu Benteng Marlborough, ada rumah pengasingan Bung Karno, ada danau yang sangat terkenal dengan cerita rakyatnya yang melegenda di telinga kita, Danau yang mampu memberikan ketenangan saat dipandang dialah "Danau Dendam Tak Sudah". Biasanya para pengunjung dapat menikmati keindahan dan ketenangan danau yang membentang luas dengan disuguhi jagung bakar pedas manis dan secangkir teh atau kopi hangat di tepi danau beriringan dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi menambah kesejukan serta masih banyak lagi yang menjadi pusat wisata di kota kehidupanku. Kota kehidupan yang mengajarkanku banyak hal sedari kecil, itu dia kota Bengkulu dan aku bangga menjadi warga Bengkulu dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya.

Kota tempat perantauanku yaitu kota kelahiranku yang masih berada di pulau sumatera. Aku dilahirkan di provinsi yang memiliki satu gunung terkenal yang puncaknya memiliki keistimewaan dapat memberikan keleluasaan untuk para pendaki gunung melihat pemandangan yang indah dari tiga kota yang berbeda. Namun tempat tujuanku bukan kesana, aku menuju kotanya yang memiliki atmosfir berbanding terbalik dengan lokasi gunung tersebut. Kota yang setiap harinya selalu diramaikan oleh mobil-mobil truk pembawa batu bara yang seringkali menimbulkan kemacetan di seluruh jalanan besar dan juga polusi yang dikandungnya. Ada yang tau kota apa yang ku maksud? Yep, benar kota Jambi. Aku belajar beradaptasi dengan suasana atmosfir, lingkungan dan keberagaman disana. Aku menjalani kehidupan baruku menjadi seorang guru di salah satu Madrasah yang baru berdiri sekitar lima tahun, aku diberikan kesempatan dan amanah untuk menjadi wali kelas dua dan guru mapel matematika seluruh kelas saat itu,  dikelilingi oleh anak-anak yang aktif, ceria, memiliki semangat belajar yang tinggi, suka bercerita, ada yang pendiam dan beberapa anak yang luar biasa menjadi tantangan dan menumbuhkan vibes positive bagiku. Aku tinggal bersama keluarga dari saudara kandung Ibuku. Rumah saudara kandung Ibuku yang biasa ku panggil Ibu, suasananya masih asri dan udara masih segar di pagi hari jauh dari polusi. Di samping rumah itu masih hutan dengan dihiasi pepohonan-pepohonan yang membentang luas nan hijau, semak belukar dan sering dihadiri keluarga monyet-monyet yang menggantung di pepohonan tersebut. 

Aku berusaha untuk mengabdikan diriku di Madrasah tersebut dan yang sangat menyenangkan disana aku bisa mengajar, mengeksplor diri, mendengarkan cerita anak, belajar, bermain dan bercerita bersama anak, menghias kelas bersama, mengaji bersama. Setiap paginya, kami muraja'ah surah-surah pendek, membaca surat Yasin bersama setiap hari Jum'at, senam atau jalan santai bersama serta banyak kegiatan bermanfaat yang kami lakukan bersama. Kekesalanku terhadap mobil-mobil truk berisikan batu bara dan polusi yang disebarkannya terbayar tuntas dengan adanya madrasah sebagai pengobatnya. Itulah rutinitasku setiap hari selama di kota baru yang ku tempati saat ini, kecuali di hari Minggu. Seperti yang ku bilang, aku adalah seorang disabilitas yang memiliki kelemahan pada area sendi lutut dengan tubuh yang mungil, akibatnya aku tidak punya nyali untuk belajar mengendarai kendaraan roda dua tapi anehnya aku bisa mengendarai sepeda. hehe Akhirnya kesempatan untuk bisa jalan-jalan sekedar melepas penat selama enam hari bekerja (Full Time) atau mengunjungi tempat wisata dan tempat kuliner di Jambi belum bisa terealisasi. Yah,, begitulah.. Namanya juga kehidupan, terkadang ekspektasi kita terhadap suatu hal sangat berbeda dengan realitanya. Namun semua yang kita alami, rasakan dan nikmati patut kita syukuri, karena semuanya adalah pemberian dan Nikmat dari Sang Penguasa Alam Semesta. Jadi, Aku menikmati hari mingguku di rumah bersama Ibu dan adik sepupuku, nama panggilannya Eci. Biasanya, aku membuka situs-situs informasi seputar beasiswa, event perjalanan atau volunteer, menulis puisi atau opini di laptop sambil mendengarkan musik. Terkadang juga menonton Tv atau membantu Eci yang sangat hobi memasak dan itu cukup menyenangkan.

Sampai suatu hari, aku mendengar sebuah kabar yang tidak baik terjadi di beberapa wilayah Jambi terkena musibah, sebagian lahan hutan dilahap si jago merah sampai menimbulkan kabut asap yang cukup parah sehingga Pak Gubernur mengeluarkan surat edaran kepada warga Jambi untuk melakukan aktivitas di dalam rumah, memakai masker ketika di luar rumah serta menghimbau seluruh pelajar dan mahasiswa untuk belajar secara Online di rumah masing-masing. Di Madrasah, temaptku bekerja bersama tim guru lainnya mengikuti aturan yang telah diberitakan. Kami memanfaatkan aplikasi WhatsApp dan Zoom untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Kegiatan belajar secara Online cukup menyenangkan dan membuat memori HP penuh, namun melihat dokumentasi yang dikirim berupa foto dan video, aku dapat melihat niat, usaha, semangat dan kreativitas anak-anak di kelas dua untuk ikut berpartisipasi mengikuti kegiatan belajar secara Online.  Kegiatan pembelajaran secara Online (Daring) berlangsung selama kurang lebih dua minggu lamanya, ternyata rasa rindu ingin bertemu dengan anak-anak sudah meninggi setinggi bintang di langit. hihi

Aku sudah tidak mampu mengingat dengan baik, kapan terakhir kali aku berangkat kerja. Seingatku sebelum peristiwa hebat yang ku alami terjadi, sepertinya terakhir kali saat hampir menuju ke penghujung bulan Oktober bertepatan di hari Jum'at. Aku dan tim rekan kerja mulai aktif memainkan Hp dan sibuk dengan kegiatan pembelajaran masing-masing. Menyapa kabar dan memberikan apersepsi sebelum menjelaskan materi pelajaran. Anak-anak sangat antusias dalam menjawab pertanyaan apersepsi dariku dan fokus mengamati penjelasan materi yang disampaikan. Aku sangat senang bisa berbagi ilmu dengan anak-anak dan melihat tingkah lucu nya melalui layar HP. Setelah pulang dari Madrasah, Gejala-gejala lamaku kembali mengganggu, gatal tenggorokan yang tak henti membiarkan batuk itu terus menerus berbunyi hingga di malam harinya membuatku tidak bisa tertidur dengan nyaman, dilanjutkan dengan demam yang naik turun yang mengharuskan aku mulai aktif kembali mengkonsumsi obat-obatan yang membosankan itu. Beberapa hari kemudian, obat yang telah aku konsumsi itu tidak memberikan perubahan apapun. Bunyi batuk itu semakin menjadi di siang dan malam hari. Aku sudah merasa sangat lelah dengan kondisiku saat itu. 

Senja mulai kembali keperaduan, keadaanku semakin memburuk. Sesak pada dadaku semakin parah yang mengantarkan aku masuk ke ruang IGD lagi dan bertemu dengan perawat manis yang pernah merawatku tempo dulu. Akhirnya aku tahu nama perawat manis itu adalah Kak Heri. hehe Setelah posisi tubuh ini berbaring di atas ranjang tempat tidur, Kak Heri memasangkan alat pendeteksi tingkat oksigen di ibu jariku dan hasilnya cukup rendah. Dia bergegas menyiapkan peralatan oksigen dan memasangkan selang oksigen di kedua lubang hidungku. Setelah cukup lama menunggu di ruang IGD dengan segala drama pendataan pasien, aku lalu dibawa oleh perawat wanita dan keponakanku menuju ruang rontgen untuk mendeteksi masalah pernapasan yang ku alami. Aku kira saat dibawa ke ruang rontgen memakai kursi roda seperti tempo dulu, untuk kali ini ada yang berbeda aku dibawa bersamaan dengan ranjang tempat tidurku dan saat melakukan X-Ray aku masih dalam keadaan berbaring. Hati kecilku berkata, sepertinya keadaan tubuhku saat ini lebih parah dari pertama kali aku memasuki ruangan ini. Tidak butuh waktu lama, mesin X-Ray telah melakukan tugasnya dan hanya hitungan menit pintu ruang rontgen terbuka dibarengi dengan penunggu ruangan, perawat dan keponakanku. Setelah semuanya selesai, aku dibawa ke ruang inap untuk beristirahat di malam itu.

Di pagi hari yang sunyi, di ruangan yang aku tempati bersama Ibu yang setia menemaniku. Mata ini melihat tubuh yang terkulai lemah berbaring di ranjang tempat tidur, selang infus lengkap dengan perekatnya yang terpasang di punggung tanganku, selang oksigen yang setia menemani hidungku, Ibu yang memandangiku dengan penuh kesedihan, ramainya ranjang tempat tidur pasien yang kosong, ada pemandangan hijau nan sejuk di balik jendela kaca dan aku sempat menikmati Sunrise yang indah di pagi itu. Dari kejauhan, telingaku mendengar ketukan pijakan kaki menuju pintu ruanganku. Siapakah mereka? Yah, benar sekali mereka adalah para perawat cantik di ruangan itu dan ditemani oleh seorang dokter wanita. Dokter wanita memberi penjelasan tentang keadaanku saat ini yang membuat kecemasan Ibu semakin meninggi diikuti isak tangis mendalam dengan jemarinya yang sibuk mengabari keluargaku di Bengkulu dan di sisi lain penjelasan dokter tersebut memberikan tubuhku pengalaman pertama kalinya untuk buang air kecil melalui selang, alat berbentuk seperti bulu ayam yang identik lebih halus dimasukkan ke dalam salah satu lubang hidungku yang ku dapati cairan kuning menempel di alat tersebut, aku tidak tau apa nama dan kegunaan alat itu sebab keadaanku saat itu sangat tidak memungkinkan aku untuk berbicara banyak. Aku hanya terdiam dengan posisi terbaring lemah dengan menggunakan masker oksigen yang setia membantu sistem pernapasanku. Salah satu perawat ruangan itu memasangiku alat rumah sakit yang cukup aneh  menurutku dan baru pertama kali ku lihat, alatnya dipenuhi kabel dan setiap ujungnya ada penjepit berbentuk bandul atau kelereng yang mana penjepit itu terpasang dibagian dada dan area tulang rusukku, ada semacam tembaga berbentuk magnet U juga dipasangkan di kedua kakiku dilengkapi dengan alat yang fungsinya sama seperti printer. Setelah hasil dari pengecekan dari alat tersebut terbaca oleh dokter wanita, aku dibawa ke ruang HCU untuk perawatan yang lebih intens.

Rasanya saat berada di ruangan kaca yang dingin dan ditemani alat-alat medis yang terpasang di tubuhku serta monitor yang memecahkan kesunyian dalam ruangan itu tanpa seorangpun di dekatku dan beberapa kali perawat datang untuk mengecek keadaanku, memasang alat baru masuk ke dalam tubuhku, menyuntikkan obat-obatan cair melalui selang infusku dan ada beberapa suntikan itu terasa nyeri sekali, memberikan obat berbentuk tablet untuk dimakan dan minum, serta perawat juga yang membersihkan tubuhku, mengganti bajuku setiap paginya dan ketika buang air besar. Keluarga dan teman-teman bisa mengunjungi pasien disesuaikan dengan jadwal besuk di ruangan itu. Aku tidak bisa mengingat dengan baik, yang jelas sekitar dua atau tiga hari di ruangan itu, ada perawat wanita yang ramah memasukkan selang ke dalam lubang hidungku dan lumayan panjang hingga mencapai bagian lambung. Setelah selang itu dipasang dan bekerja sesuai fungsinya, aku dianjurkan untuk tidak makan selama beberapa hari. Rasanya lapar, hanya boleh minum beberapa sendok atau sekedar membasahi bibir dengan air atau madu agar tidak kering. Di hari kedua dan ketiga, perawat menyuntikkan susu ke dalam selang yang terpasang di hidungku. Setelah tiga hari kemudian, aku diperbolehkan makan bubur dari rumah sakit dan aku senang sekali sudah bisa makan dengan nasi walaupun dengan tekstur lembek seperti bubur bayi. Hari-hari ku lewati begitu menjenuhkan dan aku tidak menyadari bahwa diri ini sudah lama mendekam di ruangan kaca yang dingin namun indera perabaku merasakan hal yang berbeda, rasa panas dan gatal-gatal yang sering ku rasakan selama di ruang itu. Hingga suatu hari ketika jasad ini sudah lelah dan pasrah dengan keadaan yang dialami, hati kecilku berbicara dan memohon kepada Sang Pemilik Diri "Ya Allah, Ya Rabbku. Engkau Zat Pemilik Diriku. Aku berserah diri kepadaMu. Aku serahkan hidup dan matiku hanya kepadaMu ya Rabb." Lalu kembali berzikir dalam diamku. Tidak ada rasa sakit selain sakitnya suntikan obat melalui tangan pada saluran infus dengan keadaan tubuh yang terbaring lemah, tidak ada pikiran tentang hal apa pun selain senandung zikir yang bercengkrama memenuhi hati dan tidak ada muncul pikiran dan rasa takut akan kata kematian. Semuanya terasa tenang dan tidak ada nafsu dunia lagi tentang segala hal. 

Waktu makan siangpun tiba, aku sangat senang menantikan waktu seorang ibu dengan memberikan senyuman tulus dan sebuah kotak nasi yang lengkap dengan lauk pauk beserta buah kepadaku. Nafsu makan adalah nikmat yang sangat luar biasa yang Allah berikan kepadaku dan aku sangat bahagia, ada Ibu yang ku rindukan kehadirannya kini ada di dekatku menyuapi dan menemaniku sampai tidak ada makanan yang tersisa selain buah merah menggoda yang sangat manis. Setelah gigitan ke dua buah semangka itu, aku tidak mengetahui apa yang terjadi. Hanya ada ketenangan di dalam kamar dengan suasana lampu yang sudah dimatikan dan aku tertidur pulas sangat lama. Di ruang realita, simbol pada monitor sudah telah berubah garis lurus berwarna merah, semuanya diselimuti kesedihan yang mendalam dan derai tangis dari orang-orang yang kusayangi. Beberapa perawat berlarian menuju ruanganku melihat jasad ini kejang-kejang didekapan Ibuku yang kaget, panik dan bersedih. Salah satu perawat memasangkan sebuah alat pemompa oksigen ke dalam mulutku, tangannya terus memompa sampai perutku membuncit dan perawat lainnya mencoba memegang ke dua tanganku yang masih kejang untuk menyuntikkan obat kejang. Di sisi lain, di luar ruangan kaca itu, Ibuku dan Ibu Lifuk melihat sekujur tubuh ini sudah pucat pasi bagaikan orang yang sudah tidak bernapas lagi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun