Suatu malam saat mereka bertemu, Sarah bertanya, "Apakah kamu baik-baik saja? Aku merasa kamu semakin menjauh."
Arman menghela napas. "Aku menghadapi banyak tekanan saat ini. Mungkin aku perlu waktu untuk menyelesaikan semuanya."
Ketegangan antara Sarah dan Arman semakin meningkat. Sarah merindukan kehadiran Arman yang selalu memberinya semangat. Malam itu, setelah Sarah kembali dari pameran, ia menemukan Arman duduk termenung di taman.
"Kenapa kamu terlihat begitu lelah?" tanyanya, khawatir.
Arman menatapnya, matanya menunjukkan beban yang berat. "Aku terpaksa membuat keputusan besar. Tawaran untuk menulis di luar negeri datang dan aku merasa ini adalah kesempatan yang tidak bisa aku tolak."
Hati Sarah hancur mendengar itu. "Tapi, kita baru saja mulai. Kenapa kamu harus pergi?"
Arman menjelaskan bahwa ini adalah kesempatan langka bagi karirnya. Sarah merasa bingung, marah, dan sedih sekaligus. Mereka berdua terlibat dalam perdebatan yang emosional, tetapi Arman akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran tersebut.
Malam terakhir mereka bersama di taman terasa sangat berat. Sarah merasakan kepedihan saat mereka berbicara tentang mimpi dan harapan yang masih terjalin. "Aku akan selalu mendukung impianmu, Sarah. Jangan lupakan bakatmu," kata Arman, menatap dalam-dalam. Sarah mengangguk, tetapi air mata mulai mengalir. "Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya tanpamu."
Arman meraih tangannya. "Kamu kuat. Kamu bisa melakukannya. Ini bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan baru."
Mereka berpelukan erat dan saat perpisahan. Sarah merasakan kehilangan yang dalam akan kepergian Arman dan dunia terasa lebih sunyi tanpa kehadirannya.
Setelah kepergian Arman, Sarah merasakan kesedihan yang mendalam. Namun, ia tidak membiarkan rasa sakit itu menghentikannya. Dengan semangat yang ia dapatkan dari Arman, ia mulai berkarya lebih giat. Setiap goresan kuas terasa lebih berarti, dan ia menemukan cara untuk mengekspresikan perasaannya melalui seni.