Gerimis manis di hari Jumat yang keramat. Laksana menyantap makanan di resto mewah, lengkap dengan hidangan pembuka dan penutupnya. Sungguh istimewa.
Dingin yang menusuk syahdu dilengkapi basah hujan yang tak lagi malu-malu. Akhirnya, sang kaki tak mau diajak kompromi. Ia lebih memilih bersahabat dengan selimut yang lebih hangat.
Hanya mau mengingatkan saja, bahwa rintik hujan sedang bekerja dengan riangnya. Bahkan, sepertinya ada kerja lemburnya juga karena luasnya langit memberikan mendung sedemikian rata.
Apa maknanya?Â
Gerimis berkata, "Sudahlah, kalian para insan, rebahan saja di rumah. Jangan keluyuran ke mana-mana jika tak penting. Apalagi, si virus saat ini sudah bermutasi. Semakin aneh, semakin tak terkendali. "
"Siaaaaap gerimis. Aku setuju denganmu. Toh, masih PPKM darurat. Aku menyapa muridku lewat dunia maya saja. Â
Lalu, bagaimana dengan mereka yang harus bekerja di luar sana?" Tanyaku sengit.
"Doakan saja, semua dimudahkan, disehatkan, diselamatkan. Masing-masing berperan, asal jangan memperkeruh keadaan," jawab gerimis sambil meringis.
Tersenyum sinis dalam hati karena pengalaman membuktikan.Â
Ok, aku akan berhati-hati. Toh, Â jika aku sakit dan harus ke RS harus antre berjam-jam di depan UGD. Bahkan, jikalau pun dirawat, berebut bangsal pula dengan pasien yang lebih parah.
Ingat Diah, kamu hanya rakyat jelata, tidak bisa berkehendak seenaknya saja. Kata netizen sih, kita hanya kaum receh. Kaum remahan-remahan yang  biasanya, terbuang.Â
Tapi ingat, perbanyak syukurmu agar tak kusut hatimu.Â
Dalam gerimis, cerita pun bermula
Ya Allah, selamatkan kami dari pandemi ini dan semoga keberkahan, keberuntungan senantiasa menyelimuti setiap langkah kita.
Mahabesar Allah dengan segala karunia-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H