Sebagaimana tradisi Sincia yang merasuk dalam pembuluh darah setiap warga keturunan Tionghoa di Solo, Grebeg Sudiroprajan pun mewujud rapi.Â
Tersusun dalam sebuah narasi epik sejurus swarm intelligence, Solo membedah kembali urai lembut kreativitas Tahun Ular Kayu dalam bungkusan akulturasi budaya terasa begitu hangat. Sehangat tubuh merasakan buai hormon endorfin, oksitosin, dan serotonin dalam jangkau karya sintesis budaya.
Solo, kota kecil sarat ajang kreativitas dan budaya. Sangat kental dengan nuansa akulturasi budaya dari tiga etnis yang berbeda. Etnis Jawa, Tionghoa, dan Arab.
Grebeg Sudiroprajan Visualisasi Harmony in DiversityÂ
Bukan Solo namanya bila kemeriahan Imlek tak muncul bagai nonik-nonik cantik bergaun merah. Kali ini, tradisi unik yang membungkus apik dua kebudayaan mengalir begitu rupa dalam visualisasi unity in diversity.
Maka tak ayal, 26 Januari 2025, berbagai awak media massa dengan mata lensa mereka rela berdesakan di bawah siang panas usai pawai Tingalan Jumenengan nDalem Sinuwun Pakubuwana XIII.
Kata grebeg diambil sebagai simbol dari proses adaptasi masyarakat Tionghoa dengan etnis pribumi. Kata grebeg yang berasal dari bahasa Jawa gumrebeg merujuk pada keriuhan prosesi perayaan peristiwa yang dianggap penting.
Grebeg Sudiroprajan bukanlah event asing bagi kuping masyarakat Solo dan sekitarnya semenjak tahun 2007 yang lalu. Grebeg yang menyatu dalam urat nadi budaya Solo selalu menghadirkan antusiasme masyarakat setiap tahunnya.
Pertunjukan wushu, kelincahan anak-anak memainkan barongsai, dan suara-suara indah ritme harmonis antara simbal, gong, dan tanggu (genderang) khas Tiongkok melaju memecah ruas jembatan pasar Gede.
Sekiranya, ritme-ritme dengan pola unik Tiongkok tersebut diharapkan mampu mengusir roh jahat. Terlihat pula warga Solo begitu berantusias ngalap berkah meski ubun-ubun kepala terpajan panas 31° Celsius kala itu. Saya dapat angpao?Â