"bái fà cuī nián lǎo
qīng yáng bī suì chú
sōng yuè yè chuāng xū"
rambut memutih, ingatkan usia berlalu
tahun baru mendesak bertandang
malam tenang, berteman rembulan
bersama pinus-pinus di luar jendela
Malam 25 Januari 2025 saya sengaja berdiam di bawah temaram lampion Jembatan Pasar Gedhe. Kota Bengawan sehari penuh dihinggapi hujan yang hampir tak berujung pangkal.
Teringat saya pada salah satu larik dalam kumpulan puisi Meng Haoran (689 M--740 M). Selayaknya cahaya rembulan menyusup di sela dedaunan pinus, begitu tenang. Di taman lampion inilah cahaya merasuk di sela lampion bergoyang, disertai serpihan-serpihan air hujan yang menjatuhi wajah saya malam itu, ada damai dan tenang menghujam rasa rindu saya.
Kerinduan yang riuh tentang bayangan satu kehangatan malam Sincia. Keluarga, tawa, canda, altar-altar beraroma hio, pohon peony penuh angpao, anak-anak kecil berlarian tanpa lelah, serta cerita-cerita yang berkunjung di tengah jamuan makan keluarga.
Sincia telah merupa replikasi budaya masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia. Dalam tutur bahasa Hokkien Sincia merujuk pada malam pergantian tahun baru. Sedangkan dalam bahasa Mandarin sering disebut sebagai 除夕 (Pinyin: chúxī) yang bermakna, Malam Festival Musim Semi.
Begitulah Sincia hadir sebagai bagian dari keseluruhan perayaan tahun baru masyarakat Tionghoa yang biasa dikenal masyarakat Indonesia sebagai Imlek.