Siapa yang bisa menebak batas usianya sendiri? Andakah orangnya?
Tentu saja kita masing-masing tak pernah tahu hingga batas mana kita diizinkan hidup di dunia ini. Sehari lagi, setahun? Sejuta tahun lagikah?
Bila saja pujangga sekelas Chairil kAnwar mendamba hidup 1000 tahun lagi, sementara itu, seorang Sapardi mengikis habis kepastian berputarnya waktu.Â
Yang fana adalah waktu. Begitulah Eyang Sapardi Djoko Damono seakan ingin menegaskan bahwa apa yang merupa batasan bagi dimensi ruang manusia pada akhirnya memiliki batasannya tersendiri. Dan bahwa waktu pun akan punah. Dalam batasannya sendiri.
Beranjak pada titian waktu, menginjak anak tangga ke-60 dalam sebuah relasi pernikahan merupakan suatu proses yang emejink. Opa Tjipta dan Oma Lina, you are so gorgeous.
Dalam usia pernikahan tersebut, pada umumnya kita sering menjumpai riak ombak hingga gulungan tsunami masalah rumah tangga. Tak jarang terasa betapa riuhnya upaya dua pribadi berbeda karakter berupaya menenangkan badai-badai yang terlewati bersama. Ya, bersama.
Pernikahan bukan hanya sekadar rame-rame kumpul dengan keluarga, selebrasi dan setelahnya silakan menikmati hidup. Andai saja sehabis menikah lantas tidak menghadapi masalah yang berat. Pastilah angka perceraian semakin turun. Pasti pula pernikahan bukanlah menjadi momok bagi generasi Z.
Merawat pernikahan selama 60 tahun bukan perkara gampang. Seringkali kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang membutuhkan ketulusan sekaligus kecerdasan emosi dalam memutuskan segala sesuatu. Kepintaran dengan deretan gelar-gelar tak akan pernah cukup menjamin sebuah pernikahan langgeng.
Di sisi lain, ada satu fakta yang rupa-rupanya manjadi salah satu variabel atau komponen dalam membangun pernikahan. Ya, CINTA.
Seseorang tidak akan mampu jatuh cinta bila ia masih menggunakan rasionalnya.
Geser dikit dulu, Sodara.....