Ya, sebelum Kisanak melanjutkan scrolling ke bawah artikel ini dan sesegera mungkin meninggalkan vote ataukah sekadar salam hangat buat saya sorang. #halah wekekek.
Baca juga: Kecerdasan Emosi: Ingin Cerdas Berkomentar? Simak Dulu yang Satu Ini
And Guess What?
Kembali memori dalam selaput korteks saya bertingkah aing. Bukannya menggagas soal bullying atau kepribadian siswa yang menjadi agresif di sekolah, atau siswa yang kesurupan setiap kali menghadapi test mapel sains. Saya justru teringat pada komentar yang pernah saya tulis pada salah satu artikel Engkong Felix Tan.Â
Jangan tanya artikel beliau yang mana. Saya ndak mau ngublek-ublek laman akun keramat. Bisa jadi saya nanti kena lumat.Â
Bukan tersebab saya tersengat trauma masa lalu karena risakan Engkong. Hla wong artikel saya bisa up selama ini juga salah satu peran serta spill out Engkong dahsyat satu ini.Â
Nah, bila Anda, Anda, daaaan Anda telah merasa cukup cerdas emosi alias engga baperan saya sarankan satu hal. Datangi Engkong dan minta beliau merisak artikel Anda. Niscaya dalam waktu singkat Anda akan mendapatkan hasil yang cetar membahana. Okay. Cukup sekian iklan obat cerdas dari saya. Ehladalah. Ndak. Bukan gitu, Parents.
Kay, ....balik lagi.
Saat itu saya bertanya, varian kecerdasan manakah yang sedang dibahas oleh Engkong Prof kita tercinta ini. Ya, kita semua pasti tahulah, ada 3 macam kecerdasan yang beredar di bawah kolong pemahaman perkembangan kognisi hominidae masa kiwari yang menyebut dirinya sebagai manusia.Â
Hingga ratusan tahun lamanya, masyarakat kita mengukur kecerdasan kognisi berbasis memori eksplisit semantik. Memori yang diperoleh dari pengetahuan umum, tanpa harus mengalami peristiwa tertentu. Memori yang bersangkutan dengan apa, siapa, di mana.
Seperti contohnya, saya tahu pasti bahwa Lebakwana berada di Banten tanpa saya harus pergi ke sana terlebih dahulu. Begitu pula, saya paham betul bahwa 4 x 4 = 16 tanpa saya harus diminta secara langsung oleh Acek Rudy supaya menjawab kuis perkalian tersebut dengan jujur dan tulus hati.Â
Wew, betapa tidak adilnya perkembangan kognisi anak bila hanya diukur melalui kemampuan memori semantik. Bagaimana dengan anak-anak yang berada pada spektrum tertentu. Yaitu mereka yang tidak mempunyai kapabilitas selayaknya perkembangan kognisi anak pada umumnya?