Sedang kita semua pasti paham. Masjid bukanlah fasilitas umum tempat wisata. Fungsi utama masjid adalah sebagai tempat ibadah. Bukan tempat buang sampah sembarangan, bukan wahana cekrak cekrek sekehendak pengunjung.Â
Sayangnya, meskipun dijaga ketat oleh berpuluh petugas keamanan yang tak jemu menyuarakan kerjasama dari pengunjung, namun rasa-rasanya kebiasaan NARSIS masih menjadi tabiat yang mulia warga negara wakanda.Â
Mulai membuang sampah sembarangan, berfoto ria tanpa mengindahkan larangan menginjak rumput. Oh, maaf kata, saat menunggu di pintu parkir selatan saya sempat melihat seorang bapak sedang mengambil gambar dengan menginjak taman dengan sembarangan. Hadew. Tobyaaat....sayang saat itu bebarengan dengan saat saya mengambil gambar ilustrasi di atas. Sungguh!
Lhah ya itu lho. Jangankan edukasi previlege yang kayaknya adalah domain orang khayah, hla wong latihan membuang sampah di tempat sampah aja susyah.
Eala, iya. Ada satu lagi yang tertinggal.Â
Lepas 40 menit lebih sekian detik saya melepas tunggu di pintu parkir selatan, sebagian dari teman-teman CLICK Goes To Jogja dengan intensi menunggu saya yang clungak clunguk mencari halaman Gereja Pantekosta Isa Al-Masih Sola Gratia. Ya, ternyata gereja tersebut hanya berdiri tepat di depan Masjid Raya Sheikh Zayed.
Bukan untuk beribadah di sana (karena saya umat Nasrani). Melainkan karena ada pertemuan indah yang ingin kami bangun bersama. Bukan hanya persahabatan dan rasa keluarga di balik segala huruf dan susunan kata di dunia maya.
Satu pelukan hangat menyatukan langkah kami. Matur sembah nuwun, telah hadir di kota Solo, Bu Muthiah Alhasany, dan kawan-kawan Click Goes to Jogja. Akhirnya perut kerocongan membawa otak emosi saya membajak rasionalitas.
Saya beserta tiga kawan dari Click Goes to Jogja tersesat hingga ke Mojosongo. Aduh, nyuwun pangapunten, nggih. Namun, ternyata ketersesatan tersebut membuahkan berkah tersendiri. Kami bertemu driver ojol yang baik hati mengantar berkeliling Solo.Â
Melewati beberapa tempat yang tentu saja karena desakan waktu hanya mampu kami nikmati sambil lalu. Seperti monumen keris, jembatan kali Pepe (konon sebagai pusat pelabuhan kaum Tionghoa yang melarikan diri dari genosida peristiwa Muara Angke) yang megah, Balekambang yang masih dalam proses revitalisasi, dan uniknya Omah LÃ¥wÃ¥, bagunan estetik tinggalan kolonial Belanda.Â
Hmm, hingga akhirnya kami menemukan warung makan Tenda Biru. Tempat teman-teman mengenal es gempol pleret dan masakan peranakan Jawa-Belanda: selat Solo.