"Hujan begitu lamat melumatku; sehebat bebat ingat: tentangmu"Â
Begitulah caption pada salah satu akun media sosial saya. Ketika itu pelataran Pasar Gede telah dipadati pengunjung. Tak ingin usaikan waktu dalam kesia-siaan, kaki saya mulai melangkah ke sebelah selatan Tugu Jam Pasar Gede Surakarta.Â
Mengulik perhelatan autentik yang satu ini, sama halnya kita bicara mengenai prototipe dari swarm intelegence. Sebuah kecerdasan sosial yang lahir dari kesadaran berempati.Â
Bila Anda pernah pergi ke Solo, maka Anda pasti tahu kota kelahiran Presiden RI Joko Widodo ini  bukanlah sebuah kota besar. Luas kota Solo hanya 46,72 km² dengan jumlah penduduk di tahun 2021 mencapai 522.728 jiwa versi Badan Pusat Statistik.
Pada era awal abad 20, Surakarta mulai berkembang menjadi kota yang sarat multikultur, multietnis, multiagama. Perbedaan antar kelompok sosial inilah yang seringkali memunculkan gesekan konflik.Â
Konflik kecil yang seringkali muncul di antara masyarakat Solo mudah tersulut bahkan tanpa ada alasan yang jelas. Begitu rentannya gesekan sosial inilah yang kemudian membuat Surakarta tumbuh sebagai kota dengan label "kota bersumbu pendek". Betapa muram dan legam label tersebut bagi kami.
Seakan tak mampu hilang dari serat ingatan warga Solo betapa gelapnya langit kota Solo dan sekitarnya saat peristiwa Mei 1998. (Beberapa rentetan peristiwa nyata Mei 1998 bisa dibaca pada: Mei 1998: Solo, Mimpi yang Tak Pernah Dirindukan).
Semenjak awal kehadiran masyarakat Tionghoa di Surakarta pada tahun 1745 di daerah Kartasura, Pakubuwono II telah mengakomodir kebutuhan tempat tinggal bagi mereka di area Pasar Gede, Coyudan, dan Sudiroprajan.Â
Namun demikian, nampaknya warga Sudiroprajan memiliki potensi kesadaran kolektif yang tinggi.