Andai saja apa yang menjadi harapan kita adalah sama. Terwujudnya dunia tanpa kata toleransi. Karena toleransi bukan sekadar kumpulan slogan maupun kata-kata. Toleransi merupa dalam jati diri.Â
Entah kapan empati yang berujung toleransi menjadi salah satu kehidupan yang terbiasa dihidupi bersama. Entah kapan yang beragam tak perlu harus seragam.
Warga kota Solo memulai semua dari yang terkecil. Berangkat dari sebuah kesepahaman bersama atas rasa melu handarbeni, merasa memiliki. Self of belonging yang dimulai dengan teladan dari petinggi kota terasa hangat bagi kawula alit.
Berawal dari momentum Sincia 2573 yang jatuh di awal tahun 2022, kota Solo menggelar (kembali) kondangan Imlek di masa pandemi. Merupa di angkasa malam, ribuan lampion yang terpasang apik di jembatan Pasar Gede. Sungguh, aroma kolaborasi beragam umat berbeda keyakinan ditebar begitu harum bak dupa wangi menaiki tangga nirwana abadi.
Kemudian disusul dengan desain-desain apik bernuansa Islami. Lampion gemerlap menyulap jembatan Pasar Gede menjadi hijau berkilau rahmani. Begitu pun kebersamaan tercermin dari antusiasme warga Solo dan sekitarnya untuk berfoto ria di depan halaman Balaikota Surakarta. Benar-benar Ramadhan yang membawa berkah.
Tepat pada tanggal 1 Desember 2022 cahaya malam kembali menjelma. Bagai kilau bintang, 13 pohon Natal menuntaskan harmonisasi kebersamaan Solo di penghujung tahun 2022. Begitu pula lampion beserta lampu cantik menghias kembali jembatan Pasar Gede Solo.
Di balik hiruk pikuk kabar pembobolan Kraton Kasunanan Surakarta, kota Solo tetap hadir menjawab pesona toleransi yang sengaja dibangunkan dari tidur dalamnya. Urat nadi kecerdasan sosial mencoba kembali hadir di atas pondasi rasa kebersamaan.Â
12 + 1 pohon Natal dan lampion-lampion dengan beragam wujud simbolik Natal lain mulai menyala indah. Beraneka warna dan bentuk pohon Natal seakan hadir sebagai simbol keragaman latar belakang agama, budaya, dan primordial menjadi saturasi warna cahaya malam di bawah atap langit Kota Solo.