Jemari gerimis masih membelai kota Solo. Udara basah mengiringi langkah kaki saya menelusuri kembali panjang badan jalan protokol di antara laju mobil dan kendaraan bermotor. Sore meregang senja. Malam pun mulai menelanjangi kota kecil Surakarta.
Satu per satu warga mulai berdatangan. Tak mempedulikan Jalan Jendral Sudirman yang terlanjur basah oleh hujan sepanjang hari. Kaki-kaki mulai melangkah meninggalkan jengah di rumah. Kami berlomba menikmati malam penuh cahaya.
Surakarta. Siapa yang pernah menyangka, kota yang tahun depan genap berusia 278 tahun masih setia berjajar bersama kota-kota yang jauh lebih muda.
Tentu tidaklah mudah menggapai ratusan tahun dalam kebersamaan. Begitu banyak intrik dan gesekan sosial yang terjadi. Sebagian orang menilai gemuruh perseteruan anatar warga tersebut merupakan warisan saat penjajahan VOC.Â
Masalah budaya, primordial, agama, hingga kebiasaan kecil sebuah komunitas tertentu pun tak luput menjadi bahan bakar tersulutnya percik peseteruan antar warga.Â
Taruhlah peristiwa paling bersejarah antara Kraton Kasunanan dengan Pangeran Sambernyawa yang kemudian diakhiri dengan perjanjian Salatiga sebagai contoh. Bagaimana dengan geger Pasar Kliwon yang konon bersumber dari kesalahpahaman antar warga keturunan Jawa dengan warga keturunan Arab.
Kemudian, sekitar tahun 1980-an terjadi Geger Pecinan -- kerusuhan Warung Pelem-- yang mengakibatkan begitu banyak korban jiwa terjatuh, baik dari warga keturunan Jawa maupun warga keturunan Tionghoa.
Berjalan beriringan selama 277 tahun bukan hal yang gampang. Terlebih semua perihal empati dan toleransi. Layaknya dua sisi dari sekeping mata uang.
Sedih rasanya saat mendengar kabar yang tersiar, bahwa masih saja ada birokrat yang belum memiliki wacana luas mengenai keberagaman. Memandang satu warna hanya dari kacamata pribadi dan golongan. Seakan enggan menghelat empati demi terciptanya iklim kolaborasi.
Terdengarnya gempita pembatasan atas hak menjalankan ibadah di kota sendiri memang sangat menyesakkan. Bila saja permasalahan perijinan pembangunan tempat dan pelaksanaan rangkaian ibadah terlaksana tanpa gelitik intrik. Maka tak perlu rasanya kita bersusah payah memajang propaganda ujar tertulis maupun verbalik menyoal empati.Â