"Godaan" minuman dan makanan manis versus gula darah ternyata membawa saya kembali ke meja kesehatan. Â Apa kabar, teman dan kawan? Saya harap semua baik, yha?
Apakah hari ini kopimu manis? Semanis senyum Rehan yang rela tertahan, ea ea ea...Â
Ah sudahlah, cukup...cukup. Ngapain juga bawa si Rehan ke mari yak. Â
Bicara tentang yang manis-manis, kali ini saya ingin mencoba berbagi tentang sensasi yang diberikan rasa manis di dalam tubuh. Apakah ada kaitannya dengan sikap dan perilaku kita?
Hmm, kita lihat bersama yuks.
Banyak sebab seseorang memilih untuk membatasi diri dalam mengonsumsi makanan atau minuman manis. Mengonsumsi gula di atas dosis manfaat tentu saja dapat memantik beragam penyakit. Seperti misalnya, diabetes militus tipe 2, obesitas, kerusakan pada gigi, hingga memungkinkan seseorang terkena pembengkakan jantung.
Sesuai aturan dalam Permenkes, seperti disebutkan dalam Kompas.com, bahwa ukuran kadar manfaat gula bagi tubuh kita sekitar 30-50 gram dalam sehari atau setara dengan 4 sendok makan. Lebih ataupun kurang dari takaran itu, penyakit seperti contoh di atas sedang mengintip di balik pintu.
Bila dalam 1 hari kadar manfaat gula bagi tubuh hanya sekitar 3-4 sendok makan, bukankah 1 cup es teh manis sudah mencukupi kebutuhan gula kita dalam sehari. Bagaimana dengan kita? Belum lagi jumlah hidden sugar dalam makanan minuman yang kita konsumsi selain es teh tersebut.
Kendatipun telah mengetahui informasi kesehatan tentang dampak negatif minuman makanan manis, namun setiap hari rasa-rasanya kita begitu sulit melepaskan diri dari kebiasaan mengonsumsi gula secara berlebih. Kok bisa ya?
Pada awal saya membaca viralnya berita tentang es teh di media sosial justru ingatan saya malah tertuju pada fenomena hedonic treadmill. Fenomena yang diambil sebagai metafor untuk menggambarkan hipotesis dari rasa bahagia seseorang yang cenderung kembali pada level awal setelah terjadi suatu peristiwa. Baik peristiwa yang bersifat positif ataupun negatif.